Sabtu, 18 Mei 2013
Selasa, 14 Mei 2013
Kamis, 02 Mei 2013
Latar belakang kehidupan Rene Descartes
Rene Descartes merupakan salah seorang filusuf dan ilmuwan terkemuka yang berasal dari Perancis. Rene descartes adalah seoarng tokoh dan pemikir dunia yang telah memberikan kontribusi dalam dunia ilmu pengetahuan. Rene Descartes dilahirkan di La Hayee, Touraine, pada 31 Maret 1596. Descartes mulai mengenal filsafat, logika, fisika, etika, dan matematika di La fleche ketika berumur 9 tahun. Setelah meninggalkan La Flèche, Descartes melanjutkan pendidikannya ke sekolah hukum di Poitiers sampai tahun 1616. Kemudian Descartes melanjutkan perjalanan hidupnya dengan mengelilingi benua Eropa dan mencari kebenaran yang ingin ia ungkapkan. Hal itu didukung karena Descartes sendiri berasal dari keluarga yang berkecukupan. Selanjutnya tahun 1616 hingga 1628, Descartes terus berupaya mencari ketenangan hidup dari satu negera ke negera lain seperti .Belanda, Bavaria, Honggaria dan bahkan ia sempat mengunjungi Italia, Polandia, Denmark dan negara-negara lainnya yang ada di Benua Eropa. Selama perjalanannya selama beberapa tahun, Descartes kemudian mengumpulkan informasi untuk menemukan kebenaran yang selama ini ia cari. Dan pada akhirnya Descartes memutuskan menggunakan metodenya dalam suatu percobaan membangun gambaran dunia yang sesungguhnya. Dia kemudian menetap di negeri kincir angin, Belanda dan tinggal di sana selama tidak kurang dari dua puluh satu tahun yang mana descartes menganggap bahwa Belanda adalah negeri menyediakan kebebasan intelektual yang lebih besar ketimbang negara lain. Sekitar tahun 1629 descartes sempat menulis sebuah karya “Rules for the Direction of the Mind” buku yang memberikan garis-garis besar metodenya. Namun karena belum lengkap descartes tidak menerbitkannya. Disinilah Descartes selama rentang waktu yang dilewatinya, Descartes menulis banyak karya ilmiah. Pada Oktober 1649 pula ia pindah ke Stochkholm, Swedia. Hingga pada akhirnya descartes wafat karena penyakit pneumonia yang dideritanya pada tahun 1650.
Konsep dan Kerangka pemikiran Rene Descartes
Kehadiran Rene Descartes menandai lahirnya pemikiran filsafat pada abad modern dalam periodesasi perkembangan filsafat. Tidak bisa dipungkiri semangat Renaissance, kebangkitan rasionalisme yunani tidak bisa dilepaskan dari sosok Rene Descartes yang telah berperan penting dalam kemajuan pemikiran manusia pada saat itu hingga sosok Descartes diberi julukan sebagai “ Bapak Modernisme” . Karena kecermelangan pemikirannya, zaman modern menemukan orientasi proyeksinya. Rasionalisme Descartes sedikit banyak telah membantu meretas kehadiran aliran-aliran khas modernisme, seperti individualisme, subyektifisme, materialisme, saintisme, dan positivisme. Pada dasarnya Descartes ingin menumbuhkan keyakinan yang kuat pada dirinya tentang kepastian pengetahuan ilmiah, dan tugas dalam kehidupannya adalah membedakan kebenaran dan kesalahan dalam semua bidang pelajaran. Karena menurutnya semua ilmu merupakan pengetahuan yang pasti dan jelas.
Secara umum, rasionalisme Descartes merupakan pendekatan filosofis yang mengedepankan akal atau rasio sebagai sumber dan pangkal yang subtansial dari pengertian dan pengetahuan. Secara terminologis aliran ini dipandang sebagai aliran yang berpegang pada prinsip bahwa akal harus diberi peranan utama dalam penjelasan. Ia menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas, dan bebas (terlepas) dari pengamatan inderawi.
Oleh karena itu, akal memegang peranan penting dan pangkal dalam segala bentuk mengerti. Rasionalisme menekankan pada kemampuan akal dan menampikkan kemampuan indera dalam mengungkap kebenaran. Sebab, pengetahuan indera dianggap Descartes tidak cukup. Berangkat dari keragu-raguan, Descartes kemudian ingin mencapai kepastian yang selama ini ia cari. Jika orang ragu-ragu, maka orang kemudian berpikir dan juga tampak dengan segera adanya sebab berpikir itu. Berdasarkan metode keraguan inilah nantinya akan muncul kepastian akan adanya sesuatu yang dipikirkan. Yang kemudian Descartes merumuskannya dalam kalimat dengan istilah dalam bahasa yunani “ cogito ergo sum “, bahasa inggris “ i think that i am for “ yang dalam bahasa indonesia berarti aku berpikir maka aku ada. Hal inilah yang mendasari konsep pemikiran Rene Descartes dalam mengungkap kebenaran yang sesungguhnya. Descartes ingin mencari kebenaran dengan pertama-tama meragukan semua hal. Ia meragukan keberadaan benda-benda di sekelilingnya. Ia bahkan meragukan keberadaan dirinya sendiri.
Dan salah satu titik pangkal pemikiran Descartes tertuang dalam argumentasinya tentang subtansi konsep “Cogito ergo sum” kemudian menjadi simbol dan membuktikan bahwa satu-satunya hal yang pasti di dunia ini adalah keberadaan seseorang sendiri. Keberadaan ini bisa dibuktikan dengan fakta bahwa ia bisa berpikir sendiri. Descartes berpikir bahwa dengan cara meragukan semua hal termasuk dirinya sendiri tersebut, dia telah membersihkan dirinya dari segala prasangka yang mungkin menuntunnya ke jalan yang salah. Ia takut bahwa mungkin saja berpikir sebenarnya tidak membawanya menuju kebenaran. Mungkin saja bahwa pikiran manusia pada hakikatnya tidak membawa manusia kepada kebenaran, namun sebaliknya membawanya kepada kesalahan. Artinya, ada semacam kekuatan tertentu yang lebih besar dari dirinya yang mengontrol pikirannya dan selalu mengarahkan pikirannya ke jalan yang salah. Descartes kemudian menyadari bahwa bagaimanapun pikiran mengarahkan dirinya kepada kesalahan, namun ia tetaplah berpikir. Inilah satu-satunya yang jelas. Inilah satu-satunya yang tidak mungkin salah.
Pada dasarnya manusia lahir dalam keadaan misterius. Sangat sulit utnuk mengetahui mengapa, bagaimana, dan untuk apa kelahirannya. Kelahiran manusia bagaikan sebuah buku tanpa pendahuluan mengenai latar belakang keberadaannya atau bagian penutup mengenai keberadaannya. Kita hanya sebatas mengetahui isinya. Artinya ketika manusia hidup dalam sebuah realitas adalah cukup baginya untuk menjadi seorang yang ada. Bahwa ada dengan cara berpikir. Berarti ada hal yang semu ketika kita beraktivitas, menyangkut dari sudut kontinuitas. Apa dan mau kemana. Ketika manusia itu berpikir, sudah dipastikan manusia akan berperilaku. Karena berperilaku, sudah dipastikan pula akan ada hasil, cipta dan karsa. Ide ini dianggap mutlak, karena tidaklah semuanya ketika kita berpikir, kita akan berperilaku dan tidaklah selalu ketika kita berperilaku, selalu ada perubahan. Namun hal yang urgent adalah suatu konsep kontinyuitas yang memiliki peran penting dalam suatu perubahan.
Menurut Descartes bahwa realitas sebenarnya terdiri dari: 1) res cogitans (realitas pemikiran), 2) res extensa (realitas material), dan 3) Tuhan (penjamin pengetahuan). Hal yang terpenting menurut Descartes adalah res cogintans. Karena ide-ide pengetahuan tidak didapat dari luar pemikiran kita, melainkan dari dalam diri kita sendiri. Descatres beranggapan bahwa kemampuan indrawi bisa mengecoh dan tidak dapat dipercaya. Ide-ide pengetahuan sudah ada sejak kita lahir (idea inata). Ide-ide ini muncul kembali secara intuitif dan secara deduktif. Idea-idea ini sebetulnya berasal dari Tuhan secara langsung/ lalu. Kita tahu, manusia adalah makhluk terbatas, dan manusia berupaya mencari tahu mengenai hal-hal yang takterbatas. Karena itu, pengetahuan semacam ini pastilah berasal dari yang takterbatas itu sendiri yakni: Tuhan, kita tahu kita adalah makhluk tak sempurna dan berupaya mengetahui mengenai hal-hal yang sempurna. Karena itu, pengetahuan semacam ini pastilah berasal dari yang sempurna yakni: Tuhan. Akan tetapi, hal ini hanyalah cara kita memahami dengan mempertentangkan yang terbatas dengan yang tak terbatas, yang sempurna dengan yang tidak sempurna. Sebenarnya, realitas diri kita yang sebenarnya kita tidak ketahui dengan baik.
Oleh sebab itu manusia berupaya mengungkap eksistensi mereka dalam dunia yang fana, sadar akan kehidupannya, dan sadar akan tujuan hidupnya. Manusia mulai membangun peradababannya dengan cara berpikir. Karena proses berpikir itulah yang mengantarkan manusia mengetahui esensi dari keberadaannya. Hal inilah yang ingin Descartes jelaskan dalam konsep rasionalisme yang di formulasikan dalam konsep cogito ergo sum. Pemikiran filosofis yang melekat pada sosok Rene Descartes.
Pada akhirnya, Cogito ergo sum, menghasilkan suatu perhatian bagaimana konsep ini bisa dipahami dalam keberlangsungan hidup manusia sebagai mahluk yang berpikir. Secara garis besar Descartes dalam rasionalismenya menggambarkan bagaiman akal pikiran memilki kemampuan yang abstraksi, sehingga akan diperoleh pengetahuan yang sifatnya fundamental mengenai segala yang ada dan alam semesta pada umumnya. Pemahaman terhadap isi realitas yang tidak melibatkan pada kemampuan inderawi yang sifatnya melalui pengamatan, pengalaman, dan ataupenggunaan metode empirik. Jadi secara singkat dapat dikatakan konsep rasionalisme yang kemudian berpuncak pada pernyataan cogito ergo sum memberi pemahaman kepada manusia untuk mengetahui alur dan proses kehidupan yang ada agar eksistensi manusia di akui keberadaannya dengan cara berpikir.
Rene Descartes merupakan salah seorang filusuf dan ilmuwan terkemuka yang berasal dari Perancis. Rene descartes adalah seoarng tokoh dan pemikir dunia yang telah memberikan kontribusi dalam dunia ilmu pengetahuan. Rene Descartes dilahirkan di La Hayee, Touraine, pada 31 Maret 1596. Descartes mulai mengenal filsafat, logika, fisika, etika, dan matematika di La fleche ketika berumur 9 tahun. Setelah meninggalkan La Flèche, Descartes melanjutkan pendidikannya ke sekolah hukum di Poitiers sampai tahun 1616. Kemudian Descartes melanjutkan perjalanan hidupnya dengan mengelilingi benua Eropa dan mencari kebenaran yang ingin ia ungkapkan. Hal itu didukung karena Descartes sendiri berasal dari keluarga yang berkecukupan. Selanjutnya tahun 1616 hingga 1628, Descartes terus berupaya mencari ketenangan hidup dari satu negera ke negera lain seperti .Belanda, Bavaria, Honggaria dan bahkan ia sempat mengunjungi Italia, Polandia, Denmark dan negara-negara lainnya yang ada di Benua Eropa. Selama perjalanannya selama beberapa tahun, Descartes kemudian mengumpulkan informasi untuk menemukan kebenaran yang selama ini ia cari. Dan pada akhirnya Descartes memutuskan menggunakan metodenya dalam suatu percobaan membangun gambaran dunia yang sesungguhnya. Dia kemudian menetap di negeri kincir angin, Belanda dan tinggal di sana selama tidak kurang dari dua puluh satu tahun yang mana descartes menganggap bahwa Belanda adalah negeri menyediakan kebebasan intelektual yang lebih besar ketimbang negara lain. Sekitar tahun 1629 descartes sempat menulis sebuah karya “Rules for the Direction of the Mind” buku yang memberikan garis-garis besar metodenya. Namun karena belum lengkap descartes tidak menerbitkannya. Disinilah Descartes selama rentang waktu yang dilewatinya, Descartes menulis banyak karya ilmiah. Pada Oktober 1649 pula ia pindah ke Stochkholm, Swedia. Hingga pada akhirnya descartes wafat karena penyakit pneumonia yang dideritanya pada tahun 1650.
Konsep dan Kerangka pemikiran Rene Descartes
Kehadiran Rene Descartes menandai lahirnya pemikiran filsafat pada abad modern dalam periodesasi perkembangan filsafat. Tidak bisa dipungkiri semangat Renaissance, kebangkitan rasionalisme yunani tidak bisa dilepaskan dari sosok Rene Descartes yang telah berperan penting dalam kemajuan pemikiran manusia pada saat itu hingga sosok Descartes diberi julukan sebagai “ Bapak Modernisme” . Karena kecermelangan pemikirannya, zaman modern menemukan orientasi proyeksinya. Rasionalisme Descartes sedikit banyak telah membantu meretas kehadiran aliran-aliran khas modernisme, seperti individualisme, subyektifisme, materialisme, saintisme, dan positivisme. Pada dasarnya Descartes ingin menumbuhkan keyakinan yang kuat pada dirinya tentang kepastian pengetahuan ilmiah, dan tugas dalam kehidupannya adalah membedakan kebenaran dan kesalahan dalam semua bidang pelajaran. Karena menurutnya semua ilmu merupakan pengetahuan yang pasti dan jelas.
Secara umum, rasionalisme Descartes merupakan pendekatan filosofis yang mengedepankan akal atau rasio sebagai sumber dan pangkal yang subtansial dari pengertian dan pengetahuan. Secara terminologis aliran ini dipandang sebagai aliran yang berpegang pada prinsip bahwa akal harus diberi peranan utama dalam penjelasan. Ia menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas, dan bebas (terlepas) dari pengamatan inderawi.
Oleh karena itu, akal memegang peranan penting dan pangkal dalam segala bentuk mengerti. Rasionalisme menekankan pada kemampuan akal dan menampikkan kemampuan indera dalam mengungkap kebenaran. Sebab, pengetahuan indera dianggap Descartes tidak cukup. Berangkat dari keragu-raguan, Descartes kemudian ingin mencapai kepastian yang selama ini ia cari. Jika orang ragu-ragu, maka orang kemudian berpikir dan juga tampak dengan segera adanya sebab berpikir itu. Berdasarkan metode keraguan inilah nantinya akan muncul kepastian akan adanya sesuatu yang dipikirkan. Yang kemudian Descartes merumuskannya dalam kalimat dengan istilah dalam bahasa yunani “ cogito ergo sum “, bahasa inggris “ i think that i am for “ yang dalam bahasa indonesia berarti aku berpikir maka aku ada. Hal inilah yang mendasari konsep pemikiran Rene Descartes dalam mengungkap kebenaran yang sesungguhnya. Descartes ingin mencari kebenaran dengan pertama-tama meragukan semua hal. Ia meragukan keberadaan benda-benda di sekelilingnya. Ia bahkan meragukan keberadaan dirinya sendiri.
Dan salah satu titik pangkal pemikiran Descartes tertuang dalam argumentasinya tentang subtansi konsep “Cogito ergo sum” kemudian menjadi simbol dan membuktikan bahwa satu-satunya hal yang pasti di dunia ini adalah keberadaan seseorang sendiri. Keberadaan ini bisa dibuktikan dengan fakta bahwa ia bisa berpikir sendiri. Descartes berpikir bahwa dengan cara meragukan semua hal termasuk dirinya sendiri tersebut, dia telah membersihkan dirinya dari segala prasangka yang mungkin menuntunnya ke jalan yang salah. Ia takut bahwa mungkin saja berpikir sebenarnya tidak membawanya menuju kebenaran. Mungkin saja bahwa pikiran manusia pada hakikatnya tidak membawa manusia kepada kebenaran, namun sebaliknya membawanya kepada kesalahan. Artinya, ada semacam kekuatan tertentu yang lebih besar dari dirinya yang mengontrol pikirannya dan selalu mengarahkan pikirannya ke jalan yang salah. Descartes kemudian menyadari bahwa bagaimanapun pikiran mengarahkan dirinya kepada kesalahan, namun ia tetaplah berpikir. Inilah satu-satunya yang jelas. Inilah satu-satunya yang tidak mungkin salah.
Pada dasarnya manusia lahir dalam keadaan misterius. Sangat sulit utnuk mengetahui mengapa, bagaimana, dan untuk apa kelahirannya. Kelahiran manusia bagaikan sebuah buku tanpa pendahuluan mengenai latar belakang keberadaannya atau bagian penutup mengenai keberadaannya. Kita hanya sebatas mengetahui isinya. Artinya ketika manusia hidup dalam sebuah realitas adalah cukup baginya untuk menjadi seorang yang ada. Bahwa ada dengan cara berpikir. Berarti ada hal yang semu ketika kita beraktivitas, menyangkut dari sudut kontinuitas. Apa dan mau kemana. Ketika manusia itu berpikir, sudah dipastikan manusia akan berperilaku. Karena berperilaku, sudah dipastikan pula akan ada hasil, cipta dan karsa. Ide ini dianggap mutlak, karena tidaklah semuanya ketika kita berpikir, kita akan berperilaku dan tidaklah selalu ketika kita berperilaku, selalu ada perubahan. Namun hal yang urgent adalah suatu konsep kontinyuitas yang memiliki peran penting dalam suatu perubahan.
Menurut Descartes bahwa realitas sebenarnya terdiri dari: 1) res cogitans (realitas pemikiran), 2) res extensa (realitas material), dan 3) Tuhan (penjamin pengetahuan). Hal yang terpenting menurut Descartes adalah res cogintans. Karena ide-ide pengetahuan tidak didapat dari luar pemikiran kita, melainkan dari dalam diri kita sendiri. Descatres beranggapan bahwa kemampuan indrawi bisa mengecoh dan tidak dapat dipercaya. Ide-ide pengetahuan sudah ada sejak kita lahir (idea inata). Ide-ide ini muncul kembali secara intuitif dan secara deduktif. Idea-idea ini sebetulnya berasal dari Tuhan secara langsung/ lalu. Kita tahu, manusia adalah makhluk terbatas, dan manusia berupaya mencari tahu mengenai hal-hal yang takterbatas. Karena itu, pengetahuan semacam ini pastilah berasal dari yang takterbatas itu sendiri yakni: Tuhan, kita tahu kita adalah makhluk tak sempurna dan berupaya mengetahui mengenai hal-hal yang sempurna. Karena itu, pengetahuan semacam ini pastilah berasal dari yang sempurna yakni: Tuhan. Akan tetapi, hal ini hanyalah cara kita memahami dengan mempertentangkan yang terbatas dengan yang tak terbatas, yang sempurna dengan yang tidak sempurna. Sebenarnya, realitas diri kita yang sebenarnya kita tidak ketahui dengan baik.
Oleh sebab itu manusia berupaya mengungkap eksistensi mereka dalam dunia yang fana, sadar akan kehidupannya, dan sadar akan tujuan hidupnya. Manusia mulai membangun peradababannya dengan cara berpikir. Karena proses berpikir itulah yang mengantarkan manusia mengetahui esensi dari keberadaannya. Hal inilah yang ingin Descartes jelaskan dalam konsep rasionalisme yang di formulasikan dalam konsep cogito ergo sum. Pemikiran filosofis yang melekat pada sosok Rene Descartes.
Pada akhirnya, Cogito ergo sum, menghasilkan suatu perhatian bagaimana konsep ini bisa dipahami dalam keberlangsungan hidup manusia sebagai mahluk yang berpikir. Secara garis besar Descartes dalam rasionalismenya menggambarkan bagaiman akal pikiran memilki kemampuan yang abstraksi, sehingga akan diperoleh pengetahuan yang sifatnya fundamental mengenai segala yang ada dan alam semesta pada umumnya. Pemahaman terhadap isi realitas yang tidak melibatkan pada kemampuan inderawi yang sifatnya melalui pengamatan, pengalaman, dan ataupenggunaan metode empirik. Jadi secara singkat dapat dikatakan konsep rasionalisme yang kemudian berpuncak pada pernyataan cogito ergo sum memberi pemahaman kepada manusia untuk mengetahui alur dan proses kehidupan yang ada agar eksistensi manusia di akui keberadaannya dengan cara berpikir.
Selasa, 30 April 2013
perkembangan pemikiran barat abad 17 dan 18
BAB
I
PENDAHULUAN
A.Latar belakang
Pemikiran Barat dewasa ini merupakan
paradigma bagi pengembangan budaya Barat dengan implikasi yang sangat luas dan
mendalam di semua segi dari seluruh kehidupan. Memahami tradisi pemikiran Barat
sebagaimana tercermin dalam pandangan filsafatnya merupakan kearifan tersendiri.
Persia dan Romawi, namun juga banyak yang melakukan kritik terhadapnya.
Disinilah tampak dinamika intelektual. Konsep Ide Plato trus dipelajari dan
dikembangkan,begitu juga konsep Akal dan Logika Aristoteles serta konsep
Emanasi Plotinus. Semunya tetap dijadikan pijakan. Ini membuktikan bahwa ketiga
filsuf tersebut yang nota bene merupakan para pionir memiliki pengaruh yang
sangat besar dalam membentuk pola pikir para filusuf generasi berikutnya tidak
terkecuali Immauel Kant,Filsuf kelahiran Jerman yang abad ke-18.Menurut
Kant,Fiksafat adalah ilmu (Pengetahuan) yang menjadi pangkal dari semua
pengetahuan yang di dalamnya tercakup masalah epistemologi yang menjawab
persoalan apa yang dapat kita ketahui.
Tampak adanya perbedaan yang
menyolok antara abad ke-17 dan abad
ke-18. Abad ke-17 membatasi diri pada usaha memberikan tafsiran baru terhadap
kenyataan bendawi dan rohani,yaitu
kenyataan yang mengenai manusia,dunia dan tuhan.dan tokoh-tokoh filsafat di era
ini adalah juga tokoh-tokoh gereja sehingga mereka tidak lepas dari isu-isu
ketuhanan. Akan tetapi abad ke-18 menganggap dirinya mendapat tugas untuk
meneliti secara kritik (sesuai dengan kaidah-kaidah yang diberikan akal)segala
yang ada,baik didalam negara maupun didalam masyarakat. John Locke yang mendominasi filsafat pada abad ke-18, seperti
sahabatnya, Newton yang mendominasi ilmu pada periode yang sama.Awal abad ke-18
adalah masa yang gemilang.
B.Rumusan masalah
Merujuk
pada latar belakang diatas maka yang
menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana
Pengertian filsafat abad ke17-18 (era Aufklarung atau masa pencerahan).
2. Beberapa
tokoh Pemikiran Barat Abad ke 17-18.
3. Beberapa
Karakter pemikiran barat abad 17 dan 18.
C. Metode Penulisan
Dalam pengumpulan data, kami
menggunakan keterangan dan data-data yang diperoleh dari berbagai sumber.
Adapun dalam penulisan laporan ini kami menggunakan metode literatural
(kepustakaan) dan Internet. Metode ini mengacu pada pengumpulan data melalui
beberapa buku dan browsing sebagai bahan
informasi dengan melihat dan membaca berbagai keterangan yang berhubungan
dengan pembahasan materi dalam makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Pemikiran Barat pada abad ke17-18
Zaman modern ini sebenarnya sudah
terintis mulai dari abad 15 M. Namun, indikator yang nyata terlihat jelas pada
abad 17 M dan berlangsung hingga abad 20 M. Hal ini ditandai dengan adanya
penemuan-penemuan dalam bidang ilmiah.
Filsafat abad ke-18 di Jerman
disebut Zaman Aufklarung atau zaman pencerahan yang di Inggris dikenal dengan Enlightenment,yaitu suatu zaman baru
dimana seorang ahli pikir yang cerdas mencoba menyelesaikan pertentangan antara
rasionalisme dengan empirisme. Zaman ini muncul dimana manusia lahir dalam
keadaan belum dewasa dalam pemikiran filsafatnya. Namun setelah Immanuel Kant
mengadakan penyelidikan dan kritik terhadap peran pengetahuan akal barula
manusia terasa bebas dari otoritas yang datang dari luar manusia demi kemajuan
peradaban manusia. Pemberian nama ini juga dikarenakan pada zaman itu manusia mencari cahaya baru
dalam rasionya. Immanuel Kant mendefenisikan zaman itu dengan mengatakan,
“Dengan Aufklarung dimaksudkan bahwa manusia keluar dari keadaan tidak balig
yang dengannya ia sendiri bersalah.” Sebagai
latar belakangnya,manusia melihat adanya kemajuan ilmu pengetahuan (ilmu pasti,biologi,filsafat dan sejarah)
telah mencapai hasil yang menggembirakan. Isaac Newton ( 1642-1727)
memberikan dasar-dasar berpikir dengan
induksi,yaitu pemikiran yang bertitik tolak pada gejala-gejala dan
mengembalikan kepada dasar-dasar yang sifatnya umum. Untuk itu dibutuhkan
analisis. Dengan demikian zaman pencerahan merupakan tahap baru dalam proses
emansipasi manusia Barat yang sudah dimulai sejak Renaissance dan Reformasi. Para
tokoh era Aufklarung ini juga merancang program-program khusus diantaranya adalah berjuang menentang
dogma gereja dan takhayul populer. Senjatanya adalah fakta-fakta ilmu dan
metode-metode rasional.
Berikut ini Beberapa Tokoh
Pemikiran Barat abad ke 17-18
A.Jhon Locke
Jhon locke adalah filsup pertama
yang menghimpun secara terpadu gagasan dasar konsititusi demokratis
pikiran-pikirannya juga yang mempengaruhi para tokoh amerika serikat. Bukan
hanya itu saja, pengaruhnya juga kuat merasuk kedalam kalbu gerakan pembaharu
perancis.
Jhon locke dilahirkan tahun 1632 di
kota wrington, inggris. Ia menjadi sahabat kental ahli kimia terkenal, Robert
Boyle dan kemudian hamper sepanjang hidupnya menjadi teman dekatnya Isaac
newton. Buku pertama yang membuat jhon locke terkenal adalah An essay concering
human understanding ( esai tentang saling pengertian manusia), terbit 1689.
Dalam buku tersebut dikemukakan asal usul, hakikat, dan keterbatasan
pengetahuan manusia. Ide-ide jhon locke lah yang mempengaruhi filsup-filsup
seperti George Berkeley, David Hume, dan Immanuel Kant. Dalam buku A letter
Concerning Toleration ( masalah yang berkaitan dengan tolerani), yang terbit
tahun 1690, jhon locke menekankan bahwah Negara jangan ikut campur terlampau
banyak dalam hal kebebasan dalam menjalankan ibadah menurut kepercayaan dan
agama masing-masing. Jhon locke bukan lah orang inggris pertama yang
mengusulkan adanya toleransi agama dari semua sekte protestan.
Arti penting jhon locke lainnya adalah bukunya
Two Treatises of Governmant ( dua persepakatan dengan pemerintah), Terbit tahun
1689 yang isinya merupakan penyuguhan ide dasar yang menekankan arti penting
konstitussi demokrasi libral buku itu juga berpengaruh terhadap pemikiran politik
seluruh dunia. Jhon locke mengajarkan bahwa setiap orang lahir dengan hak-hak
dasar ( hak asasi/ natural right) yang tidak boleh dirampas oleh orang
lain. Hak-hak dasar itu meliputi hak
untuk hidup, hak untuk memiliki sesuatu, kebebasan membuat opini, beragama, dan
berbicara. Jhon locke juga menyatakan pemerintah memiliki tugas utama untuk
menjamin hak-hak dasar tersebut dan jika pemeritah tidak menjaga hak-hak dasar
itu jangan salahkan rakyat jika mereka melakukan revolusi.
B.Montesqueiu (1689-1755)
Montesquieu dikenal dalam literatur
Barat bukan hanya sebagai pemikir dan filosof politik saja, melainkan ia
dikategorikan sebagai sosiologi mendahului August Comte. Ia juga seorang
sejarawan dan novelis terkemuka di zamannya. Gagasan-gagasannya mempengaruhi
perkembangan pemikiran negara dan hukum di berbagai belahan dunia selama
berabad-abad. Pengaruh pemikirannya mudah dilacak dalam konstitusi dan
formulasi ketatanegaraan dunia modern. Karena mempengaruhi perumusan konstitusi
Amerika di abad XVIII, maka ia dihormati di kalangan perumus konstitusi
Amerika, seperti George Washington dan Thomas Jefferson.
Gagasannya yang paling terkenal
yaitu mengenai Trias Politica yang memisahkan kekuasaan negara ke dalam tiga
bentuk, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Konsep ini kemudian
diterapkan di negara-negara Eropa dan Amerika. Karya-karya Montesquieu yang
monumental adalah mengenai sebab kebangkitan dan kejatuhan Romawi, The
Considerations on the Causes of the Grandeur and Decadence of the Roman, Letters
Persanes, dan Spirit of the Laws yakni karya yang berisi konsep-konsep hukum
dan ilmu politik modern.
Sama halnya Machiavelli, Montesquieu
juga mengagumi semangat kebebasan, seni memerintah dan seni perang bangsa
Romawi, khususnya keahlian mereka dalam memanipulasi agama dan
kebijakan-kebijakan luar negeri untuk digunakan demi kepentinganmereka. Agama
misalnya, hanya diperkenankan sejauh ia memperkokoh struktur nilai-nilai
kekuasaan negara kota. Agama harus diabdikan demi kebesaran, kesatuan dan kejayaan
imperium Romawi. Agama yang tidak memiliki fungsi seperti itu tidak diakui
keberadaannya. Akan tetapi, yang
membedakan kedua pemikir ini adalah bahwa Machiavelli melihat orang-orang besar
yang mengejar kemasyhuran dan kekuasaan sebagai individu yang berperan penting
dalam pembentukan sejarah bangsa itu. Sedangkan Montesquieu tidak percaya bahwa
sejarah dibentuk oleh orang-orang besar. Mereka memang membentuk
lembaga-lembaga sosial politik, militer, dan lain-lain, tetapi setelah itu,
maka individu-individu itulah yang diatur oleh lembaga-lembaga itu.
Seperti yang dikatakan sebelumnya,
bahwa salah satu ajaran Montesquieu yang paling terkenal dan diterapkan oleh
berbagai negara hingga kini, yaitu Trias Politica (pembagian kekuasaan ) ke
dalam tiga bagian. Tiga kekuasaan yang dimaksud yaitu kekuasaan legislatif atau
pembentuk undang-undang, kekuasaan eksekutif atau yang menjalankan
undang-undang, dan juga kekuasaan yudikatif atau kekuasaan menngadili.
Pembagian ini sebenarnya telah dikemukakan sebelumnya oleh John Locke. Tetapi
oleh Locke, kekuasaan yudikatif tidak dikemukakan, melainkan kekuasaan
federative. Oleh Montesquieu sendiri,
pembagian ketiga kekuasaan ini adalah untuk menjamin adanya kemerdekaan.
D.David hume
Seperti halnya para filsuf empiris
lainnya yang selalu menegasikan pengetahuan yang di luar jangkauan indra, dan
tidak mengakuinya sebagai hal yang pasti. Demikian pula dengan David Hume,
filosof Skotlandia itu juga mempunyai pemikiran filsafat yang berkarakteristik
empiris. Namun filsafat empirisme Hume di sini bukan sebagai bentuk konkret
nyata sebagai mana empiris adanya. Karena dalam corak pemikiran Hume, ia
menggabung beberapa konsep pemikiran dari beberapa tokoh filsuf empiris lainnya
seperti John Locke dan George Berkeley, kedua filsuf itu lah yang menginspirasi
Hume untuk melakukan revolusi besar-besaran dalam mengkodifikasi filsafat
empirismenya. Di lain hal, Hume juga mempunyai pemikiran filsafat berkenaan
etika yang tertuang dari sumbangsih pemikiran Thomas Hutcheson seorang filsuf moral
yang memiliki pemikiran moral akan penekanan pada perasaan. Di sini Hume
memiliki tiga tokoh perbandingan dalam memformulasikan untuk kemudian ia akan
melahirkan hal yang baru.
Empirisme Hume sangat berbeda dengan
tokoh-tokoh filsafat yang mempengaruhinya (John Locke dan George Berkeley),
mengapa demikian?. menurut Hume John Locke dan George Berkeley masih belum
sempurna dalam merumuskan pemikiran empirisme, karena dalam pergolakan
pemikiran mereka masih terdapat ketimpangan-ketimpangan dalam mengolah empiris
yang masih tercampur baur dengan rasional. Sedang menuurut Hume, empirisme
harus menegasikan rasional dalam mencari pengetahuan. Tidak berarti akal yang
guna sebagai piranti mutlak untuk berfikir (rasio) juga tidak berlaku. Tambah
dia, akal di sini hanya sebatas media untuk merfleksikan pengetahuan akan benar
atau ttidaknya.
Menurut Hume masih kurang cukup
untuk mencapai kebenaran empiris dengan sekedar kesan dan gagasan. Hume
menambahkan beberapa tahap lagi untuk dapat membuktikan kebenaran pengetahuan,
diantara tahapan itu ialah; kausalitas (kedekatan, pendahulu sementara,
keterkaitan wajib), dan penggabungan psikologi. Tapi menurut saya cukup kita
mengetahui intisari pemikiran Hume dengan kesan dan gagasannya agar nantinya
kita tidak tertipu antara empirisme dan rasionalisme.
Karakter pemikiran barat abad 17
dan 18
A. Rasionalisme
Usaha manusia untuk memberi
kemandirian kepada akal sebagaimana yang telah dirintis oleh para pemikir
renaisans, masih berlanjut terus sampai abad ke-17. Abad ke-17 adalah era
dimulainya pemikiran-pemikiran kefilsafatan dalam artian yang sebenarnya.
Semakin lama manusia semakin menaruh kepercayaan yang besar terhadap kemampuan
akal, bahkan diyakini bahwa dengan kemampuan akal segala macam persoalan dapat
dijelaskan, semua permasalahan dapat dipahami dan dipecahkan termasuk seluruh
masalah kemanusiaan.
Pada zaman modern filsafat, tokoh
pertama rasionalisme adalah Rene Descartes (1595-1650). Tokoh rasionalisme
lainnya adalah Baruch Spinoza (1632-1677) dan Gottfried Wilhelm Leibniz
(1646-1716). Descartes dianggap sebagai Bapak Filsafat Modern. Menurut Bertrand
Russel, kata “Bapak” pantas diberikan kepada Descartes karena dialah orang
pertama pada zaman modern itu yang membangun filsafat berdasarkan atas
keyakinan diri sendiri yang dihasilkan oleh pengetahuan akliah. Dia pula orang
pertama di akhir abad pertengahan yang menyusun argumentasi yang kuat dan tegas
yang menyimpulkan bahwa dasar filsafat haruslah akal, bukan perasaan, bukan
iman, bukan ayat suci dan bukan yang lainnya. Hal ini disebabkan perasaan tidak
puas terhadap perkembangan filsafat yang amat lamban dan banyak memakan korban.
Ia melihat tokoh-tokoh Gereja yang mengatasnamakan agama telah menyebabkan
lambannya perkembangan itu. Ia ingin filsafat dilepaskan dari dominasi agama
Kristen, selanjutnya kembali kepada semangat filsafat Yunani, yaitu filsafat
yang berbasis pada akal.
Lebih jelas uraian Descartes tentang
bagaimana memperoleh hasil yang sahih dari metode yang ia canangkan dapat
dijumpai dalam bagian kedua dari karyanya Anaximenes
Discourse on Methode yang menjelaskan perlunya memperhatikan empat hal
berikut ini:
1.
Tidak menerima sesuatu apa pun sebagai kebenaran, kecuali bila saya melihat
bahwa hal itu sungguh-sungguh jelas dan tegas, sehingga tidak ada suatu
keraguan apa pun yang mampu merobohkannya.
2.
Pecahkanlah setiap kesulitan atau masalah itu sebanyak mungkin bagian, sehingga
tidak ada suatu keraguan apa pun yang mampu merobohkannya.
3.
Bimbinglah pikiran dengan teratur, dengan memulai dari hal yang sederhana dan
mudah diketahui, kemudian secara bertahap sampai pada yang paling sulit dan
kompleks.
4.
Dalam proses pencarian dan penelaahan hal-hal sulit, selamanya harus dibuat
perhitungan-perhitungan yang sempurna serta pertimbangan-pertimbangan yang
menyeluruh, sehingga kita menjadi yakin bahwa tidak ada satu pun yang
terabaikan atau ketinggalan dalam penjelajahan itu.
Atas dasar aturan-aturan itulah
Descartes mengembangkan pikiran filsafatnya. Ia meragukan segala sesuatu yang
dapat diragukan. Pertama-tama ia mulai meragukan hal-hal yang berkaitan dengan
panca indera. Ia meragukan adanya badannya sendiri. Keraguan itu dimungkinkan
karena pada pengalaman mimpi, halusinasi, ilusi dan pengalaman tentang roh
halus, ada yang sebenarnya itu tidak jelas. Pada keempat keadaan itu seseorang
dapat mengalami sesuatu seolah-olah dalam keadaan yang sesungguhnya.
C. Empirisme
Para pemikir di Inggris bergerak ke
arah yang berbeda dengan tema yang telah dirintis oleh Descartes. Mereka lebih
mengikuti Jejak Francis Bacon, yaitu aliran empirisme.
Empirisme adalah suatu doktrin
filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan dan
pengetahuan itu sendiri dan mengecilkan peran akal. Istilah empirisme diambil
dari bahasa yunani empeiria yang berarti pengalaman. Sebagai suatu doktrin,
empirisme adalah lawan rasionalisme. Akan tetapi tidak berarti bahwa
rasionalisme ditolak sama sekali. Dapat dikatakan bahwa rasionalisme
dipergunakan dalam kerangka empirisme, atau rasionalisme dilihat dalam bingkai
empirisme.
Orang pertama pada abad ke-17 yang
mengikuti aliran empirisme di Inggris adalah Thomas Hobbes (1588-1679). Jika
Bacon lebih berarti dalam bidang metode penelitian, maka Hobbes dalam bidang
doktrin atau ajaran. Hobbes telah menyusun suatu sistem yang lengkap berdasar
kepada empirisme secara konsekuen. Meskipun ia bertolak pada dasar-dasar
empiris, namun ia menerima juga metode yang dipakai dalam ilmu alam yang
bersifat matematis. Ia telah mempersatukan empirisme dengan rasionalisme
matematis. Ia mempersatukan empirisme dengan rasionalisme dalam bentuk suatu
filsafat materialistis yang konsekuen pada zaman modern.
Menurut Hobbes, filsafat adalah
suatu ilmu pengetahuan yang bersifat umum, sebab filsafat adalah suatu ilmu
pengetahuan tentang efek-efek atau akibat-akibat, atau tentang
penampakan-panampakan yang kita peroleh dengan merasionalisasikan pengetahuan
yang semula kita miliki dari sebab-sebabnya atau asalnya. Sasaran filsafat
adalah fakta-fakta yang diamati untuk mencari sebab-sebabnya. Adapun alatnya
adalah pengertian-pengertian yang diungkapkan dengan kata-kata yang
menggambarkan fakta-fakta itu. Di dalam pengamatan disajikan fakta-fakta yang
dikenal dalam bentuk pengertian-pengertian yang ada dalam kesadaran kita.
Sasaran ini dihasilkan dengan perantaraan pengertian-pengertian; ruang, waktu,
bilangan dan gerak yang diamati pada benda-benda yang bergerak. Menurut Hobbes, tidak semua yang diamati pada
benda-benda itu adalah nyata, tetapi yang benar-benar nyata adalah gerak dari
bagian-bagian kecil benda-benda itu. Segala gejala pada benda yang menunjukkan
sifat benda itu ternyata hanya perasaan yang ada pada si pengamat saja. Segala
yang ada ditentukan oleh sebab yang hukumnya sesuai dengan hukum ilmu pasti dan
ilmu alam. Dunia adalah keseluruhan sebab akibat termasuk situasi kesadaran
kita.
Sebagai
penganut empirisme, pengenalan atau pengetahuan diperoleh melalui pengalaman.
Pengalaman adalah awal dari segala pengetahuan, juga awal pengetahuan tentang
asas-asas yang diperoleh dan diteguhkan oleh pengalaman. Segala pengetahuan
diturunkan dari pengalaman. Dengan demikian, hanya pengalamanlah yang memberi
jaminan kepastian.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pada abad ke17-18 dimulai suatu zaman baru
yang memang telah berakar pada Renaissance (Masa yang juga disebut masa
keraguan,dirinya dan jiwanya saja diragukan. Yang tidak di ragukan hanya
dirinya yang ragu itu ,keraguan yang dimaksud disini adalah keraguan metafisik
) dan mewujudkan buah pahit dari rasionalisme dan empirisme. Masa ini disebut
dengan masa pencerahan atau Aufklarung yang menurut Immanuel Kant,di zaman ini
manusia terlepas dari keadaan tidak balik yang disebabkan oleh kesalahan
manusia itu sendir yang tidak memanfaatkan akalnya.
Menurut
Bertrand Russel, kata “Bapak” pantas diberikan kepada Descartes karena dialah
orang pertama pada zaman modern itu yang membangun filsafat berdasarkan atas
keyakinan diri sendiri yang dihasilkan oleh pengetahuan akliah. Dia pula orang
pertama di akhir abad pertengahan yang menyusun argumentasi yang kuat dan tegas
yang menyimpulkan bahwa dasar filsafat haruslah akal, bukan perasaan, bukan
iman, bukan ayat suci dan bukan yang lainnya.
Seperti
halnya para filsuf empiris lainnya yang selalu menegasikan pengetahuan yang di
luar jangkauan indra, dan tidak mengakuinya sebagai hal yang pasti. Demikian
pula dengan David Hume, filosof Skotlandia itu juga mempunyai pemikiran
filsafat yang berkarakteristik empiris. Namun filsafat empirisme Hume di sini
bukan sebagai bentuk konkret nyata sebagai mana empiris adanya.
DAFTAR PUSTAKA
Agung,
Leo S. 2013. Sejarah Intelektual. Yogyakarta: Ombak
Lubis,
Ahyar Yusuf. 2011. Filsafat Ilmu. Jakarta : koekoesan
Suhelmi,
Ahmad.2001. Pemikiran Politik Barat. Jakarta : Gramedia
Minggu, 28 April 2013
tugas sejarah intelektual (voltaire)
Selama
jaman Pencerahan abad XVIII Voltaire termasuk filsuf yang termashur diantara
berbagai filsuf lain yang ada, ia menghasilkan banyak sekali karya meskipun
sebenarnya dia bukanlah seorang penulis yang original. Ia peka sekali terhadap
gagasan-gagasan yang tersebar pada jamannya serta pandai mengungkapkannya guna
mencapai tujuannya. Banyak sekali pengetahuan yang dipelajari, antara lain
sastra, sejarah, ilmu hukum, politik, ilmu pengetahuan alam, kesenian dan
filsafat, sehingga pengetahuannya luas sekali. Barangkali karena pengetahuannya
yang terlalu banyak inilah yang menyebabkan tulisan-tulisan yang dihasilkannya
tidak begitu mendalam. Sebagian karyanya antara lain memuat tentang kesusasteraan
dan syair-syair. Melalui berbagai tulisannya, utamanya kepandaiannya dalam
bersastra, ia mengkritik kehidupan para penguasa Perancis abad XVIII.
Menurut
Voltaire Agama Alamiah yang memenuhi tuntutan akal ialah ketika orang mengasihi
Allah dan berbuat adil serta berniat baik terhadap sesamanya sebagaimana
terhadap saudaranya sendiri. Tuntutan-tuntutan kesusilaan yang mengenai
keadilan dan kebijakan tidak tergantung pada pandangan-pandangan metafisis atau
teologis. Hukum kesusilaan bukanlah suatu keseluruhan peraturan-peraturan yang
dibawa orang sejak lahir melainkan suatu keseluruhan peraturan yang bersifat
abadi dan tidak berubah disegala jaman dan bertempat di mana saja. Isi hukum
kesusilaan adalah:”Hidup seperti yang kamu inginkan telah kamu lakukan pada
saat kamu mati dan berbuatlah terhadap sesamamu seperti yang kamu inginkan ia
berbuat terhadapmu.”
Agam
mencakup kepastian tentang adanya Allah. Bahwa Allah ada, hal itu dapat dibela
terhadap Ateisme dengan alasan-alasan yang sekali dan semata-mata bersifat
alamiah. Penyusunan alam semesta dan peraturan-peraturan umum dari
kejadian-kejadian alamiah mengajarkan kepada kita adanya pekerja yang
tertinggi, yang menciptakan segalanya, yaitu Allah. Akan tetapi kita tidak tahu
apa-apa tentang hakekat dan sifat-sifat Allah ini. Arti kepercayaan kepada
Allah ialah untuk menjadikan manusia merasa terikat kepada Allah oleh suatu
kewajiban untuk menyembah dan mengasihiNya serta mengharapkan balasan yang adil
dariNya mengenai kebaikan dan kejahatan, sekalipun kewajiban itu baru
diketahuinya secara samara-samar.[1]
Sebagai
tokoh penyebar pencerahan, ia mengkritik keberadaan dan kebenaran tahyul. Orang
yang percaya akan tahyul telah timbul dalam paganisme, tahyul ini kemudian
diambil oleh agama Yahudi dan menjangkiti Gereja Kristen sejak Jaman Klasik.
Semua Bapak Gereja, tanpa terkecuali, percaya akan kekuatan ilmu sihir. Gereja
sendiri selalu mengutuk ilmu sihir,namun demikian Gereja tetap percaya akan hal
itu. Gereja tidak mengusir tukang ilmu sihir sebagai orang-orang gila yang
sesat jalan, melainkan sebagai orang-orang yang dalam kenyataannya mengadakan
hubungandengan setan.
Dewasa
ini sebagian masyarakat Eropa masih ada yang mempercayai terhadap keberadaan
ilmu sihir. Voltaire, sebagai tokoh yang beraliran Protes-tan, menganggap
patung suci, pengampunan, samadi, doa-doa bagi orang yang meninggal, air suci
dan semua upacara dari Gereja Roma sebagai kelemahan jiwa yang percaya akan
tahyul. Menurut Voltaire, tahyul adalah mengandung unsur-unsur yang menganggap
pekerjaan yang sia-sia sebagai pekerjaan-pekerjaan yang penting-penting.
Masalah tahyul sampai dewasa ini masih dalam perdebatan. Kita sangat sulit
untuk memberikan definisi atau batas-batas pengertian tahyul. Berbagai pemuka
agama, seperti Uskup dari Canterbury dan Uskup dari Paris percaya akan tahyul.
Oleh karenanya, para jemaat Kristen tidak seorang pun yang sepaham akan apa
yang dimaksudkan dengan pengertian tahyul.
Voltaire
melakukan propaganda modernnya terhadap faham humanitas, toleransi terhadap
orang yang berbeda agama atau keyakinan, dengan melalui tulisan sasteranya. Ia
menyindir mengenai purbasangka dan kebodohan. Dipergunakannya sandiwara,
bersajak, epik, roman lucu misalnya roman Condide digunakan pula uraian dan
surat selebaran. Tetapi, dalam perjuangannya salah satu alatnya yang terpenting
adalah sejarah. Bukan hal yang baru lagi, bahwa orang menggunakan sejarah untuk
menunjukkan atau melukiskan, bahwa faham seseorang dalam lapangan politik,
sosial atau dalam lapangan moral. Kritik Voltaire terhadap pemerintahan
Perancis abad XVIII, dimasa pemerintahan Louis ke XIV, mengenai pemburuan Agama
Kristen dianggap menelikung terhadap kemerdekaan berbicara yang pernah ada.
Akan tetapi ia melepaskan usaha-usaha yang besar itu dengan dalih pada
pemerintahan yang popular, satu kebijaksanaan yang tidak memandang jauh ke
depan, karena kebebasan warga Negara tidak akan tercapai kecuali kebebasan
berpolitik juga ada.
Kontribusi
Voltair sebagai sosok penyebar pencerahan juga kita dapati dalam lapangan
sejarah. Ia memandang sejarah bukan lagi suatu pertentangan antara kebaikan dan
kejahatan, tetapi pengertian antara mengerti dan tidak mengerti. Sejarah suci
dipisahkan dari sejarah profan. Injil sebagai sumber sejarah tidak lagi
memiliki sumber-sumber profan yang lain. Tujuan sejarah ditentukan oleh akal
manusia sendiri yaitu memperbaiki kondisi hidup manusia, dalam arti untuk
mengurangi kebodohan mereka dan dengan demikian agar dapat hidup lebih baik dan
lebih bahagia. Oleh Voltaire, sejarah diberi aspek profan. Bukan penyelenggaraan
Ilahi, melainkan akallah yang memimpin manusia masa silam yang bukan ke masa
kini yang terang, dan masa kini menuju ke masa depan yang lebih cemerlang.
Tidaklah
berlebihan jika kita katakana, bahwa Voltaire merupakan tokoh pertama yang sangat
piawai dalam penulisan sejarah baru. Dalam karyanya yang berjudulSejarah
Charles XII yang diterbitkan pada tahun 1731, ia mencoba menerangkan karier
raja Swedia yang aneh itu dengan meneliti watak pribadinya. Voltaire,
melukiskan Charles sebagai Iskandar Agung dan separuh Don Quixote. Tetapi
kehidupan Charles bernuansa sedih dan buku Voltaire ini mengorbankan kebenaran
sejarah demi keasyikan. Buku lain yang diterbitkan adalah jaman Louis XIV
seluruh uraian hebat mengenai jaman yang cemerlang; wawasannya mendalam
demikian juga penilaian yang tajam.[2]
Gagasan
pokok yang dikemukakannya selama hidup salah satunya adalah pendiriannya yang
tergigih yakni mutlaknya jaminan kebebasan bicara dan kebebasan pers. Kalimat
masyhur yang sering dihubungkan dengan Voltaire adalah yang berbunyi “Saya
tidak setuju apa yang kau bilang, tetapi akan saya bela mati-matian hakmu untuk
mengucapkan itu.” Meskipun mungkin saja Voltaire tidak pernah berucap sepersis
itu, tetapi yang jelas kalimat itu benar-benar mencerminkan sikap Voltaire yang
sebenarnya. Prinsip Voltaire yang lainnya ialah, kepercayaannya akan kebebasan
beragama. Seluruh kariernya, dengan tak tergoyahkan dia menentang
ketidaktoleransian agama serta penghukuman yang berkaitan dengan soal-soal
agama. Meskipun Voltaire percaya adanya Tuhan, dia dengan tegas menentang
sebagian besar dogma-dogma agama dan dengan mantapnya dia mengatakan bahwa
organisasi berdasar keagaman pada dasarnya suatu penipuan.
Adalah
sangat wajar bila Voltaire tak pernah percaya bahwa gelar-gelar keningratan
Perancis dengan sendirinya menjamin kelebihan-kelebihan mutu, dan pada dasarnya
tiap orang sebenarnya mafhum bahwa apa yang disebut “hak-hak suci Raja” itu
sebenarnya omong kosong belaka. Dan kendati Voltaire sendiri jauh dari potongan
seorang demokrat modern (dia condong menyetujui suatu bentuk kerajaan yang kuat
tetapi mengalami pembaharuan-pembaharuan), dorongan pokok gagasannya jelas
menentang setiap kekuasaan yang diperoleh berdasarkan garis keturunan. Karena
itu tidaklah mengherankan jika sebagian terbesar pengikutnya berpihak pada
demokrasi. Gagasan politik dan agamanya dengan demikian sejalan dengan faham
pembaharuan Perancis, dan merupakan sumbangan penting sehingga meletusnya
Revolusi Perancis tahun 1789.
referensi: Angung S Leo.Sejarah Intelektual.Yogyakarta.Penerbit Ombak.2013
Langganan:
Postingan (Atom)