Kamis, 02 Mei 2013

Latar belakang kehidupan  Rene Descartes
Rene Descartes merupakan salah seorang filusuf dan ilmuwan terkemuka yang berasal dari Perancis. Rene descartes adalah seoarng tokoh dan pemikir dunia yang telah memberikan kontribusi dalam dunia ilmu pengetahuan.  Rene Descartes dilahirkan di La Hayee, Touraine, pada 31 Maret 1596. Descartes  mulai mengenal filsafat, logika, fisika, etika, dan matematika di La fleche ketika berumur 9 tahun. Setelah meninggalkan La Flèche, Descartes melanjutkan pendidikannya ke sekolah hukum di Poitiers sampai tahun 1616. Kemudian Descartes melanjutkan perjalanan hidupnya dengan mengelilingi benua Eropa dan mencari kebenaran yang ingin ia ungkapkan. Hal itu didukung karena Descartes sendiri berasal dari keluarga yang berkecukupan. Selanjutnya tahun 1616 hingga 1628, Descartes terus berupaya mencari ketenangan hidup  dari satu negera ke negera lain seperti .Belanda, Bavaria, Honggaria dan bahkan ia sempat mengunjungi Italia, Polandia, Denmark dan negara-negara lainnya yang ada di Benua Eropa. Selama perjalanannya selama beberapa tahun, Descartes kemudian mengumpulkan informasi untuk menemukan kebenaran yang selama ini ia cari. Dan pada akhirnya Descartes memutuskan menggunakan metodenya dalam suatu percobaan membangun gambaran dunia yang sesungguhnya. Dia kemudian menetap di negeri kincir angin, Belanda dan tinggal di sana selama tidak kurang dari dua puluh satu tahun yang mana descartes menganggap bahwa  Belanda adalah negeri menyediakan kebebasan intelektual yang lebih besar ketimbang negara lain. Sekitar tahun 1629 descartes sempat menulis sebuah karya “Rules for the Direction of the Mind”  buku yang memberikan garis-garis besar metodenya. Namun karena belum lengkap descartes tidak menerbitkannya. Disinilah Descartes selama rentang waktu yang dilewatinya, Descartes  menulis banyak karya ilmiah. Pada Oktober 1649 pula ia pindah ke Stochkholm, Swedia. Hingga pada akhirnya descartes wafat karena penyakit pneumonia yang dideritanya pada tahun 1650.
Konsep dan Kerangka pemikiran Rene Descartes
Kehadiran Rene Descartes menandai lahirnya pemikiran filsafat pada abad modern dalam periodesasi perkembangan filsafat. Tidak bisa dipungkiri semangat Renaissance, kebangkitan rasionalisme yunani tidak bisa dilepaskan dari sosok Rene Descartes yang telah berperan penting dalam kemajuan pemikiran manusia pada saat itu hingga sosok Descartes diberi julukan sebagai “ Bapak Modernisme” . Karena kecermelangan pemikirannya, zaman modern menemukan orientasi proyeksinya. Rasionalisme Descartes sedikit banyak  telah membantu meretas kehadiran aliran-aliran khas modernisme, seperti individualisme, subyektifisme, materialisme, saintisme, dan positivisme.  Pada dasarnya Descartes ingin menumbuhkan keyakinan yang kuat pada dirinya tentang kepastian pengetahuan ilmiah, dan tugas dalam kehidupannya adalah membedakan kebenaran dan kesalahan dalam semua bidang pelajaran. Karena menurutnya semua ilmu merupakan pengetahuan yang pasti dan jelas.
Secara umum, rasionalisme Descartes merupakan pendekatan filosofis yang mengedepankan akal atau rasio sebagai sumber dan pangkal yang subtansial dari pengertian dan pengetahuan. Secara terminologis aliran ini dipandang sebagai aliran yang berpegang pada prinsip bahwa akal harus diberi peranan utama dalam penjelasan. Ia menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas, dan bebas (terlepas) dari pengamatan inderawi.
Oleh karena itu, akal memegang peranan penting dan pangkal dalam segala bentuk mengerti. Rasionalisme menekankan pada kemampuan akal dan menampikkan kemampuan indera dalam mengungkap kebenaran. Sebab, pengetahuan indera dianggap Descartes tidak cukup. Berangkat dari keragu-raguan, Descartes kemudian ingin mencapai kepastian yang selama ini ia cari. Jika orang ragu-ragu, maka orang kemudian berpikir dan juga tampak dengan segera adanya sebab berpikir itu. Berdasarkan metode keraguan inilah nantinya akan muncul kepastian akan adanya sesuatu yang dipikirkan. Yang kemudian Descartes merumuskannya dalam kalimat dengan istilah dalam bahasa yunani “ cogito ergo sum “, bahasa inggris “ i think that i am for “ yang dalam bahasa indonesia berarti aku berpikir maka aku ada. Hal inilah yang mendasari konsep pemikiran Rene Descartes dalam mengungkap kebenaran yang sesungguhnya. Descartes ingin mencari kebenaran dengan pertama-tama meragukan semua hal. Ia meragukan keberadaan benda-benda di sekelilingnya. Ia bahkan meragukan keberadaan dirinya sendiri. 
Dan salah satu titik pangkal pemikiran Descartes tertuang dalam argumentasinya tentang subtansi konsep “Cogito ergo sum” kemudian menjadi simbol dan membuktikan  bahwa satu-satunya hal yang pasti di dunia ini adalah keberadaan seseorang sendiri. Keberadaan ini bisa dibuktikan dengan fakta bahwa ia bisa berpikir sendiri. Descartes berpikir bahwa dengan cara meragukan semua hal termasuk dirinya sendiri tersebut, dia telah membersihkan dirinya dari segala prasangka yang mungkin menuntunnya ke jalan yang salah. Ia takut bahwa mungkin saja berpikir sebenarnya tidak membawanya menuju kebenaran. Mungkin saja bahwa pikiran manusia pada hakikatnya tidak membawa manusia kepada kebenaran, namun sebaliknya membawanya kepada kesalahan. Artinya, ada semacam kekuatan tertentu yang lebih besar dari dirinya yang mengontrol pikirannya dan selalu mengarahkan pikirannya ke jalan yang salah. Descartes kemudian menyadari bahwa bagaimanapun pikiran mengarahkan dirinya kepada kesalahan, namun ia tetaplah berpikir. Inilah satu-satunya yang jelas. Inilah satu-satunya yang tidak mungkin salah.   
Pada dasarnya manusia lahir dalam keadaan misterius. Sangat sulit utnuk mengetahui mengapa, bagaimana, dan untuk apa kelahirannya. Kelahiran manusia bagaikan sebuah buku tanpa pendahuluan mengenai latar belakang keberadaannya atau bagian penutup mengenai keberadaannya. Kita hanya sebatas mengetahui isinya. Artinya  ketika manusia hidup dalam sebuah realitas adalah cukup baginya untuk menjadi seorang yang ada. Bahwa ada dengan cara berpikir. Berarti ada hal yang semu ketika kita beraktivitas, menyangkut dari sudut kontinuitas. Apa dan mau kemana. Ketika manusia itu berpikir, sudah dipastikan manusia akan berperilaku. Karena berperilaku, sudah dipastikan pula akan ada hasil, cipta dan karsa. Ide ini dianggap mutlak, karena tidaklah semuanya ketika kita berpikir, kita akan berperilaku dan tidaklah selalu ketika kita berperilaku, selalu ada perubahan. Namun hal yang urgent adalah suatu konsep kontinyuitas yang memiliki peran penting dalam suatu perubahan. 
Menurut Descartes bahwa realitas sebenarnya  terdiri dari: 1) res cogitans (realitas pemikiran), 2) res extensa (realitas material), dan 3) Tuhan (penjamin pengetahuan). Hal yang terpenting menurut Descartes adalah res cogintans. Karena ide-ide pengetahuan tidak didapat dari luar pemikiran kita, melainkan dari dalam diri kita sendiri. Descatres beranggapan bahwa kemampuan indrawi bisa mengecoh dan tidak dapat dipercaya. Ide-ide pengetahuan sudah ada sejak kita lahir (idea inata). Ide-ide ini muncul kembali secara intuitif dan secara deduktif. Idea-idea ini sebetulnya berasal dari Tuhan secara langsung/ lalu.  Kita tahu,  manusia adalah makhluk terbatas, dan manusia berupaya mencari tahu mengenai hal-hal yang takterbatas. Karena itu, pengetahuan semacam ini pastilah berasal dari yang takterbatas itu sendiri yakni: Tuhan,  kita tahu kita adalah makhluk tak sempurna dan berupaya mengetahui mengenai hal-hal yang sempurna. Karena itu, pengetahuan semacam ini pastilah berasal dari yang sempurna yakni: Tuhan. Akan tetapi, hal ini hanyalah cara kita memahami dengan mempertentangkan yang terbatas dengan yang tak terbatas, yang sempurna dengan yang tidak sempurna. Sebenarnya, realitas diri kita yang sebenarnya kita tidak ketahui dengan baik.
Oleh sebab itu manusia berupaya mengungkap eksistensi mereka dalam dunia yang fana, sadar akan kehidupannya, dan sadar akan tujuan hidupnya.  Manusia mulai membangun peradababannya dengan cara berpikir. Karena proses berpikir itulah yang mengantarkan manusia mengetahui esensi dari keberadaannya. Hal inilah yang ingin Descartes jelaskan dalam konsep rasionalisme yang di formulasikan dalam konsep cogito ergo sum. Pemikiran filosofis yang melekat pada sosok Rene Descartes.
Pada akhirnya, Cogito ergo sum, menghasilkan suatu perhatian bagaimana konsep ini bisa dipahami dalam keberlangsungan hidup manusia sebagai mahluk yang berpikir. Secara garis besar Descartes dalam rasionalismenya menggambarkan bagaiman akal pikiran memilki kemampuan yang abstraksi, sehingga akan diperoleh pengetahuan yang sifatnya fundamental mengenai segala yang ada dan alam semesta pada umumnya. Pemahaman terhadap isi realitas yang tidak melibatkan pada kemampuan inderawi yang sifatnya melalui pengamatan, pengalaman, dan ataupenggunaan metode empirik. Jadi secara singkat dapat dikatakan konsep rasionalisme yang kemudian berpuncak pada pernyataan cogito ergo sum memberi pemahaman kepada manusia untuk mengetahui alur dan proses kehidupan yang ada agar eksistensi manusia di akui keberadaannya dengan cara berpikir.  

Selasa, 30 April 2013

perkembangan pemikiran barat abad 17 dan 18


                                                        BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar belakang
            Pemikiran Barat dewasa ini merupakan paradigma bagi pengembangan budaya Barat dengan implikasi yang sangat luas dan mendalam di semua segi dari seluruh kehidupan. Memahami tradisi pemikiran Barat sebagaimana tercermin dalam pandangan filsafatnya merupakan kearifan tersendiri. Persia dan Romawi, namun juga banyak yang melakukan kritik terhadapnya. Disinilah tampak dinamika intelektual. Konsep Ide Plato trus dipelajari dan dikembangkan,begitu juga konsep Akal dan Logika Aristoteles serta konsep Emanasi Plotinus. Semunya tetap dijadikan pijakan. Ini membuktikan bahwa ketiga filsuf tersebut yang nota bene merupakan para pionir memiliki pengaruh yang sangat besar dalam membentuk pola pikir para filusuf generasi berikutnya tidak terkecuali Immauel Kant,Filsuf kelahiran Jerman yang abad ke-18.Menurut Kant,Fiksafat adalah ilmu (Pengetahuan) yang menjadi pangkal dari semua pengetahuan yang di dalamnya tercakup masalah epistemologi yang menjawab persoalan apa yang dapat kita ketahui.
            Tampak adanya perbedaan yang menyolok  antara abad ke-17 dan abad ke-18. Abad ke-17 membatasi diri pada usaha memberikan tafsiran baru terhadap kenyataan bendawi dan  rohani,yaitu kenyataan yang mengenai manusia,dunia dan tuhan.dan tokoh-tokoh filsafat di era ini adalah juga tokoh-tokoh gereja sehingga mereka tidak lepas dari isu-isu ketuhanan. Akan tetapi abad ke-18 menganggap dirinya mendapat tugas untuk meneliti secara kritik (sesuai dengan kaidah-kaidah yang diberikan akal)segala yang ada,baik didalam negara maupun didalam masyarakat. John Locke yang  mendominasi filsafat pada abad ke-18, seperti sahabatnya, Newton yang mendominasi ilmu pada periode yang sama.Awal abad ke-18 adalah masa yang gemilang.


B.Rumusan masalah
Merujuk pada latar belakang  diatas maka yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana Pengertian filsafat abad ke17-18 (era Aufklarung atau masa pencerahan).
2.      Beberapa tokoh Pemikiran Barat Abad ke 17-18.
3.      Beberapa Karakter pemikiran barat abad 17 dan 18.

C. Metode Penulisan
            Dalam pengumpulan data, kami menggunakan keterangan dan data-data yang diperoleh dari berbagai sumber. Adapun dalam penulisan laporan ini kami menggunakan metode literatural (kepustakaan) dan Internet. Metode ini mengacu pada pengumpulan data melalui beberapa buku dan browsing  sebagai bahan informasi dengan melihat dan membaca berbagai keterangan yang berhubungan dengan pembahasan materi dalam makalah ini.








BAB II
PEMBAHASAN


A.    Perkembangan Pemikiran Barat pada abad ke17-18
            Zaman modern ini sebenarnya sudah terintis mulai dari abad 15 M. Namun, indikator yang nyata terlihat jelas pada abad 17 M dan berlangsung hingga abad 20 M. Hal ini ditandai dengan adanya penemuan-penemuan dalam bidang ilmiah.
            Filsafat abad ke-18 di Jerman disebut Zaman Aufklarung atau zaman pencerahan yang di  Inggris dikenal  dengan Enlightenment,yaitu suatu zaman baru dimana seorang ahli pikir yang cerdas mencoba menyelesaikan pertentangan antara rasionalisme dengan empirisme. Zaman ini muncul dimana manusia lahir dalam keadaan belum dewasa dalam pemikiran filsafatnya. Namun setelah Immanuel Kant mengadakan penyelidikan dan kritik terhadap peran pengetahuan akal barula manusia terasa bebas dari otoritas yang datang dari luar manusia demi kemajuan peradaban manusia. Pemberian nama ini juga dikarenakan  pada zaman itu manusia mencari cahaya baru dalam rasionya. Immanuel Kant mendefenisikan zaman itu dengan mengatakan, “Dengan Aufklarung dimaksudkan bahwa manusia keluar dari keadaan tidak balig yang dengannya ia sendiri bersalah.”         Sebagai latar belakangnya,manusia melihat adanya kemajuan ilmu pengetahuan  (ilmu pasti,biologi,filsafat dan sejarah) telah mencapai hasil yang menggembirakan. Isaac Newton ( 1642-1727) memberikan  dasar-dasar berpikir dengan induksi,yaitu pemikiran yang bertitik tolak pada gejala-gejala dan mengembalikan kepada dasar-dasar yang sifatnya umum. Untuk itu dibutuhkan analisis. Dengan demikian zaman pencerahan merupakan tahap baru dalam proses emansipasi manusia Barat yang sudah dimulai sejak Renaissance dan Reformasi. Para tokoh era Aufklarung ini juga merancang program-program  khusus diantaranya adalah berjuang menentang dogma gereja dan takhayul populer. Senjatanya adalah fakta-fakta ilmu dan metode-metode rasional.
Berikut ini Beberapa Tokoh Pemikiran Barat abad ke 17-18
A.Jhon Locke
            Jhon locke adalah filsup pertama yang menghimpun secara terpadu gagasan dasar konsititusi demokratis pikiran-pikirannya juga yang mempengaruhi para tokoh amerika serikat. Bukan hanya itu saja, pengaruhnya juga kuat merasuk kedalam kalbu gerakan pembaharu perancis.
            Jhon locke dilahirkan tahun 1632 di kota wrington, inggris. Ia menjadi sahabat kental ahli kimia terkenal, Robert Boyle dan kemudian hamper sepanjang hidupnya menjadi teman dekatnya Isaac newton. Buku pertama yang membuat jhon locke terkenal adalah An essay concering human understanding ( esai tentang saling pengertian manusia), terbit 1689. Dalam buku tersebut dikemukakan asal usul, hakikat, dan keterbatasan pengetahuan manusia. Ide-ide jhon locke lah yang mempengaruhi filsup-filsup seperti George Berkeley, David Hume, dan Immanuel Kant. Dalam buku A letter Concerning Toleration ( masalah yang berkaitan dengan tolerani), yang terbit tahun 1690, jhon locke menekankan bahwah Negara jangan ikut campur terlampau banyak dalam hal kebebasan dalam menjalankan ibadah menurut kepercayaan dan agama masing-masing. Jhon locke bukan lah orang inggris pertama yang mengusulkan adanya toleransi agama dari semua sekte protestan.
 Arti penting jhon locke lainnya adalah bukunya Two Treatises of Governmant ( dua persepakatan dengan pemerintah), Terbit tahun 1689 yang isinya merupakan penyuguhan ide dasar yang menekankan arti penting konstitussi demokrasi libral buku itu juga berpengaruh terhadap pemikiran politik seluruh dunia. Jhon locke mengajarkan bahwa setiap orang lahir dengan hak-hak dasar ( hak asasi/ natural right) yang tidak boleh dirampas oleh orang lain.  Hak-hak dasar itu meliputi hak untuk hidup, hak untuk memiliki sesuatu, kebebasan membuat opini, beragama, dan berbicara. Jhon locke juga menyatakan pemerintah memiliki tugas utama untuk menjamin hak-hak dasar tersebut dan jika pemeritah tidak menjaga hak-hak dasar itu jangan salahkan rakyat jika mereka melakukan revolusi.  
B.Montesqueiu (1689-1755)
            Montesquieu dikenal dalam literatur Barat bukan hanya sebagai pemikir dan filosof politik saja, melainkan ia dikategorikan sebagai sosiologi mendahului August Comte. Ia juga seorang sejarawan dan novelis terkemuka di zamannya. Gagasan-gagasannya mempengaruhi perkembangan pemikiran negara dan hukum di berbagai belahan dunia selama berabad-abad. Pengaruh pemikirannya mudah dilacak dalam konstitusi dan formulasi ketatanegaraan dunia modern. Karena mempengaruhi perumusan konstitusi Amerika di abad XVIII, maka ia dihormati di kalangan perumus konstitusi Amerika, seperti George Washington dan Thomas Jefferson.
            Gagasannya yang paling terkenal yaitu mengenai Trias Politica yang memisahkan kekuasaan negara ke dalam tiga bentuk, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Konsep ini kemudian diterapkan di negara-negara Eropa dan Amerika. Karya-karya Montesquieu yang monumental adalah mengenai sebab kebangkitan dan kejatuhan Romawi, The Considerations on the Causes of the Grandeur and Decadence of the Roman, Letters Persanes, dan Spirit of the Laws yakni karya yang berisi konsep-konsep hukum dan ilmu politik modern.
            Sama halnya Machiavelli, Montesquieu juga mengagumi semangat kebebasan, seni memerintah dan seni perang bangsa Romawi, khususnya keahlian mereka dalam memanipulasi agama dan kebijakan-kebijakan luar negeri untuk digunakan demi kepentinganmereka. Agama misalnya, hanya diperkenankan sejauh ia memperkokoh struktur nilai-nilai kekuasaan negara kota. Agama harus diabdikan demi kebesaran, kesatuan dan kejayaan imperium Romawi. Agama yang tidak memiliki fungsi seperti itu tidak diakui keberadaannya.  Akan tetapi, yang membedakan kedua pemikir ini adalah bahwa Machiavelli melihat orang-orang besar yang mengejar kemasyhuran dan kekuasaan sebagai individu yang berperan penting dalam pembentukan sejarah bangsa itu. Sedangkan Montesquieu tidak percaya bahwa sejarah dibentuk oleh orang-orang besar. Mereka memang membentuk lembaga-lembaga sosial politik, militer, dan lain-lain, tetapi setelah itu, maka individu-individu itulah yang diatur oleh lembaga-lembaga itu.
            Seperti yang dikatakan sebelumnya, bahwa salah satu ajaran Montesquieu yang paling terkenal dan diterapkan oleh berbagai negara hingga kini, yaitu Trias Politica (pembagian kekuasaan ) ke dalam tiga bagian. Tiga kekuasaan yang dimaksud yaitu kekuasaan legislatif atau pembentuk undang-undang, kekuasaan eksekutif atau yang menjalankan undang-undang, dan juga kekuasaan yudikatif atau kekuasaan menngadili. Pembagian ini sebenarnya telah dikemukakan sebelumnya oleh John Locke. Tetapi oleh Locke, kekuasaan yudikatif tidak dikemukakan, melainkan kekuasaan federative. Oleh Montesquieu  sendiri, pembagian ketiga kekuasaan ini adalah untuk menjamin adanya kemerdekaan.
D.David hume
            Seperti halnya para filsuf empiris lainnya yang selalu menegasikan pengetahuan yang di luar jangkauan indra, dan tidak mengakuinya sebagai hal yang pasti. Demikian pula dengan David Hume, filosof Skotlandia itu juga mempunyai pemikiran filsafat yang berkarakteristik empiris. Namun filsafat empirisme Hume di sini bukan sebagai bentuk konkret nyata sebagai mana empiris adanya. Karena dalam corak pemikiran Hume, ia menggabung beberapa konsep pemikiran dari beberapa tokoh filsuf empiris lainnya seperti John Locke dan George Berkeley, kedua filsuf itu lah yang menginspirasi Hume untuk melakukan revolusi besar-besaran dalam mengkodifikasi filsafat empirismenya. Di lain hal, Hume juga mempunyai pemikiran filsafat berkenaan etika yang tertuang dari sumbangsih pemikiran Thomas Hutcheson seorang filsuf moral yang memiliki pemikiran moral akan penekanan pada perasaan. Di sini Hume memiliki tiga tokoh perbandingan dalam memformulasikan untuk kemudian ia akan melahirkan hal yang baru.
            Empirisme Hume sangat berbeda dengan tokoh-tokoh filsafat yang mempengaruhinya (John Locke dan George Berkeley), mengapa demikian?. menurut Hume John Locke dan George Berkeley masih belum sempurna dalam merumuskan pemikiran empirisme, karena dalam pergolakan pemikiran mereka masih terdapat ketimpangan-ketimpangan dalam mengolah empiris yang masih tercampur baur dengan rasional. Sedang menuurut Hume, empirisme harus menegasikan rasional dalam mencari pengetahuan. Tidak berarti akal yang guna sebagai piranti mutlak untuk berfikir (rasio) juga tidak berlaku. Tambah dia, akal di sini hanya sebatas media untuk merfleksikan pengetahuan akan benar atau ttidaknya.
            Menurut Hume masih kurang cukup untuk mencapai kebenaran empiris dengan sekedar kesan dan gagasan. Hume menambahkan beberapa tahap lagi untuk dapat membuktikan kebenaran pengetahuan, diantara tahapan itu ialah; kausalitas (kedekatan, pendahulu sementara, keterkaitan wajib), dan penggabungan psikologi. Tapi menurut saya cukup kita mengetahui intisari pemikiran Hume dengan kesan dan gagasannya agar nantinya kita tidak tertipu antara empirisme dan rasionalisme.

Karakter pemikiran barat abad 17 dan 18
A. Rasionalisme
            Usaha manusia untuk memberi kemandirian kepada akal sebagaimana yang telah dirintis oleh para pemikir renaisans, masih berlanjut terus sampai abad ke-17. Abad ke-17 adalah era dimulainya pemikiran-pemikiran kefilsafatan dalam artian yang sebenarnya. Semakin lama manusia semakin menaruh kepercayaan yang besar terhadap kemampuan akal, bahkan diyakini bahwa dengan kemampuan akal segala macam persoalan dapat dijelaskan, semua permasalahan dapat dipahami dan dipecahkan termasuk seluruh masalah kemanusiaan.
            Pada zaman modern filsafat, tokoh pertama rasionalisme adalah Rene Descartes (1595-1650). Tokoh rasionalisme lainnya adalah Baruch Spinoza (1632-1677) dan Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716). Descartes dianggap sebagai Bapak Filsafat Modern. Menurut Bertrand Russel, kata “Bapak” pantas diberikan kepada Descartes karena dialah orang pertama pada zaman modern itu yang membangun filsafat berdasarkan atas keyakinan diri sendiri yang dihasilkan oleh pengetahuan akliah. Dia pula orang pertama di akhir abad pertengahan yang menyusun argumentasi yang kuat dan tegas yang menyimpulkan bahwa dasar filsafat haruslah akal, bukan perasaan, bukan iman, bukan ayat suci dan bukan yang lainnya. Hal ini disebabkan perasaan tidak puas terhadap perkembangan filsafat yang amat lamban dan banyak memakan korban. Ia melihat tokoh-tokoh Gereja yang mengatasnamakan agama telah menyebabkan lambannya perkembangan itu. Ia ingin filsafat dilepaskan dari dominasi agama Kristen, selanjutnya kembali kepada semangat filsafat Yunani, yaitu filsafat yang berbasis pada akal.
            Lebih jelas uraian Descartes tentang bagaimana memperoleh hasil yang sahih dari metode yang ia canangkan dapat dijumpai dalam bagian kedua dari karyanya Anaximenes Discourse on Methode yang menjelaskan perlunya memperhatikan empat hal berikut ini:
1. Tidak menerima sesuatu apa pun sebagai kebenaran, kecuali bila saya melihat bahwa hal itu sungguh-sungguh jelas dan tegas, sehingga tidak ada suatu keraguan apa pun yang mampu merobohkannya.
2. Pecahkanlah setiap kesulitan atau masalah itu sebanyak mungkin bagian, sehingga tidak ada suatu keraguan apa pun yang mampu merobohkannya.
3. Bimbinglah pikiran dengan teratur, dengan memulai dari hal yang sederhana dan mudah diketahui, kemudian secara bertahap sampai pada yang paling sulit dan kompleks.
4. Dalam proses pencarian dan penelaahan hal-hal sulit, selamanya harus dibuat perhitungan-perhitungan yang sempurna serta pertimbangan-pertimbangan yang menyeluruh, sehingga kita menjadi yakin bahwa tidak ada satu pun yang terabaikan atau ketinggalan dalam penjelajahan itu.
            Atas dasar aturan-aturan itulah Descartes mengembangkan pikiran filsafatnya. Ia meragukan segala sesuatu yang dapat diragukan. Pertama-tama ia mulai meragukan hal-hal yang berkaitan dengan panca indera. Ia meragukan adanya badannya sendiri. Keraguan itu dimungkinkan karena pada pengalaman mimpi, halusinasi, ilusi dan pengalaman tentang roh halus, ada yang sebenarnya itu tidak jelas. Pada keempat keadaan itu seseorang dapat mengalami sesuatu seolah-olah dalam keadaan yang sesungguhnya.
C. Empirisme
            Para pemikir di Inggris bergerak ke arah yang berbeda dengan tema yang telah dirintis oleh Descartes. Mereka lebih mengikuti Jejak Francis Bacon, yaitu aliran empirisme.
            Empirisme adalah suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan dan pengetahuan itu sendiri dan mengecilkan peran akal. Istilah empirisme diambil dari bahasa yunani empeiria yang berarti pengalaman. Sebagai suatu doktrin, empirisme adalah lawan rasionalisme. Akan tetapi tidak berarti bahwa rasionalisme ditolak sama sekali. Dapat dikatakan bahwa rasionalisme dipergunakan dalam kerangka empirisme, atau rasionalisme dilihat dalam bingkai empirisme.
            Orang pertama pada abad ke-17 yang mengikuti aliran empirisme di Inggris adalah Thomas Hobbes (1588-1679). Jika Bacon lebih berarti dalam bidang metode penelitian, maka Hobbes dalam bidang doktrin atau ajaran. Hobbes telah menyusun suatu sistem yang lengkap berdasar kepada empirisme secara konsekuen. Meskipun ia bertolak pada dasar-dasar empiris, namun ia menerima juga metode yang dipakai dalam ilmu alam yang bersifat matematis. Ia telah mempersatukan empirisme dengan rasionalisme matematis. Ia mempersatukan empirisme dengan rasionalisme dalam bentuk suatu filsafat materialistis yang konsekuen pada zaman modern.
            Menurut Hobbes, filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan yang bersifat umum, sebab filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan tentang efek-efek atau akibat-akibat, atau tentang penampakan-panampakan yang kita peroleh dengan merasionalisasikan pengetahuan yang semula kita miliki dari sebab-sebabnya atau asalnya. Sasaran filsafat adalah fakta-fakta yang diamati untuk mencari sebab-sebabnya. Adapun alatnya adalah pengertian-pengertian yang diungkapkan dengan kata-kata yang menggambarkan fakta-fakta itu. Di dalam pengamatan disajikan fakta-fakta yang dikenal dalam bentuk pengertian-pengertian yang ada dalam kesadaran kita. Sasaran ini dihasilkan dengan perantaraan pengertian-pengertian; ruang, waktu, bilangan dan gerak yang diamati pada benda-benda yang bergerak.  Menurut Hobbes, tidak semua yang diamati pada benda-benda itu adalah nyata, tetapi yang benar-benar nyata adalah gerak dari bagian-bagian kecil benda-benda itu. Segala gejala pada benda yang menunjukkan sifat benda itu ternyata hanya perasaan yang ada pada si pengamat saja. Segala yang ada ditentukan oleh sebab yang hukumnya sesuai dengan hukum ilmu pasti dan ilmu alam. Dunia adalah keseluruhan sebab akibat termasuk situasi kesadaran kita.
Sebagai penganut empirisme, pengenalan atau pengetahuan diperoleh melalui pengalaman. Pengalaman adalah awal dari segala pengetahuan, juga awal pengetahuan tentang asas-asas yang diperoleh dan diteguhkan oleh pengalaman. Segala pengetahuan diturunkan dari pengalaman. Dengan demikian, hanya pengalamanlah yang memberi jaminan kepastian.








BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
 Pada abad ke17-18 dimulai suatu zaman baru yang memang telah berakar pada Renaissance (Masa yang juga disebut masa keraguan,dirinya dan jiwanya saja diragukan. Yang tidak di ragukan hanya dirinya yang ragu itu ,keraguan yang dimaksud disini adalah keraguan metafisik ) dan mewujudkan buah pahit dari rasionalisme dan empirisme. Masa ini disebut dengan masa pencerahan atau Aufklarung yang menurut Immanuel Kant,di zaman ini manusia terlepas dari keadaan tidak balik yang disebabkan oleh kesalahan manusia itu sendir yang tidak memanfaatkan akalnya.
Menurut Bertrand Russel, kata “Bapak” pantas diberikan kepada Descartes karena dialah orang pertama pada zaman modern itu yang membangun filsafat berdasarkan atas keyakinan diri sendiri yang dihasilkan oleh pengetahuan akliah. Dia pula orang pertama di akhir abad pertengahan yang menyusun argumentasi yang kuat dan tegas yang menyimpulkan bahwa dasar filsafat haruslah akal, bukan perasaan, bukan iman, bukan ayat suci dan bukan yang lainnya.
Seperti halnya para filsuf empiris lainnya yang selalu menegasikan pengetahuan yang di luar jangkauan indra, dan tidak mengakuinya sebagai hal yang pasti. Demikian pula dengan David Hume, filosof Skotlandia itu juga mempunyai pemikiran filsafat yang berkarakteristik empiris. Namun filsafat empirisme Hume di sini bukan sebagai bentuk konkret nyata sebagai mana empiris adanya.




DAFTAR PUSTAKA
Agung, Leo S. 2013. Sejarah Intelektual. Yogyakarta: Ombak
Lubis, Ahyar Yusuf. 2011. Filsafat Ilmu. Jakarta : koekoesan
Suhelmi, Ahmad.2001. Pemikiran Politik Barat. Jakarta : Gramedia

Minggu, 28 April 2013

tugas sejarah intelektual (voltaire)



Selama jaman Pencerahan abad XVIII Voltaire termasuk filsuf yang termashur diantara berbagai filsuf lain yang ada, ia menghasilkan banyak sekali karya meskipun sebenarnya dia bukanlah seorang penulis yang original. Ia peka sekali terhadap gagasan-gagasan yang tersebar pada jamannya serta pandai mengungkapkannya guna mencapai tujuannya. Banyak sekali pengetahuan yang dipelajari, antara lain sastra, sejarah, ilmu hukum, politik, ilmu pengetahuan alam, kesenian dan filsafat, sehingga pengetahuannya luas sekali. Barangkali karena pengetahuannya yang terlalu banyak inilah yang menyebabkan tulisan-tulisan yang dihasilkannya tidak begitu mendalam. Sebagian karyanya antara lain memuat tentang kesusasteraan dan syair-syair. Melalui berbagai tulisannya, utamanya kepandaiannya dalam bersastra, ia mengkritik kehidupan para penguasa Perancis abad XVIII.
Menurut Voltaire Agama Alamiah yang memenuhi tuntutan akal ialah ketika orang mengasihi Allah dan berbuat adil serta berniat baik terhadap sesamanya sebagaimana terhadap saudaranya sendiri. Tuntutan-tuntutan kesusilaan yang mengenai keadilan dan kebijakan tidak tergantung pada pandangan-pandangan metafisis atau teologis. Hukum kesusilaan bukanlah suatu keseluruhan peraturan-peraturan yang dibawa orang sejak lahir melainkan suatu keseluruhan peraturan yang bersifat abadi dan tidak berubah disegala jaman dan bertempat di mana saja. Isi hukum kesusilaan adalah:”Hidup seperti yang kamu inginkan telah kamu lakukan pada saat kamu mati dan berbuatlah terhadap sesamamu seperti yang kamu inginkan ia berbuat terhadapmu.”
Agam mencakup kepastian tentang adanya Allah. Bahwa Allah ada, hal itu dapat dibela terhadap Ateisme dengan alasan-alasan yang sekali dan semata-mata bersifat alamiah. Penyusunan alam semesta dan peraturan-peraturan umum dari kejadian-kejadian alamiah mengajarkan kepada kita adanya pekerja yang tertinggi, yang menciptakan segalanya, yaitu Allah. Akan tetapi kita tidak tahu apa-apa tentang hakekat dan sifat-sifat Allah ini. Arti kepercayaan kepada Allah ialah untuk menjadikan manusia merasa terikat kepada Allah oleh suatu kewajiban untuk menyembah dan mengasihiNya serta mengharapkan balasan yang adil dariNya mengenai kebaikan dan kejahatan, sekalipun kewajiban itu baru diketahuinya secara samara-samar.[1]
Sebagai tokoh penyebar pencerahan, ia mengkritik keberadaan dan kebenaran tahyul. Orang yang percaya akan tahyul telah timbul dalam paganisme, tahyul ini kemudian diambil oleh agama Yahudi dan menjangkiti Gereja Kristen sejak Jaman Klasik. Semua Bapak Gereja, tanpa terkecuali, percaya akan kekuatan ilmu sihir. Gereja sendiri selalu mengutuk ilmu sihir,namun demikian Gereja tetap percaya akan hal itu. Gereja tidak mengusir tukang ilmu sihir sebagai orang-orang gila yang sesat jalan, melainkan sebagai orang-orang yang dalam kenyataannya mengadakan hubungandengan setan.
Dewasa ini sebagian masyarakat Eropa masih ada yang mempercayai terhadap keberadaan ilmu sihir. Voltaire, sebagai tokoh yang beraliran Protes-tan, menganggap patung suci, pengampunan, samadi, doa-doa bagi orang yang meninggal, air suci dan semua upacara dari Gereja Roma sebagai kelemahan jiwa yang percaya akan tahyul. Menurut Voltaire, tahyul adalah mengandung unsur-unsur yang menganggap pekerjaan yang sia-sia sebagai pekerjaan-pekerjaan yang penting-penting. Masalah tahyul sampai dewasa ini masih dalam perdebatan. Kita sangat sulit untuk memberikan definisi atau batas-batas pengertian tahyul. Berbagai pemuka agama, seperti Uskup dari Canterbury dan Uskup dari Paris percaya akan tahyul. Oleh karenanya, para jemaat Kristen tidak seorang pun yang sepaham akan apa yang dimaksudkan dengan pengertian tahyul.
Voltaire melakukan propaganda modernnya terhadap faham humanitas, toleransi terhadap orang yang berbeda agama atau keyakinan, dengan melalui tulisan sasteranya. Ia menyindir mengenai purbasangka dan kebodohan. Dipergunakannya sandiwara, bersajak, epik, roman lucu misalnya roman Condide digunakan pula uraian dan surat selebaran. Tetapi, dalam perjuangannya salah satu alatnya yang terpenting adalah sejarah. Bukan hal yang baru lagi, bahwa orang menggunakan sejarah untuk menunjukkan atau melukiskan, bahwa faham seseorang dalam lapangan politik, sosial atau dalam lapangan moral. Kritik Voltaire terhadap pemerintahan Perancis abad XVIII, dimasa pemerintahan Louis ke XIV, mengenai pemburuan Agama Kristen dianggap menelikung terhadap kemerdekaan berbicara yang pernah ada. Akan tetapi ia melepaskan usaha-usaha yang besar itu dengan dalih pada pemerintahan yang popular, satu kebijaksanaan yang tidak memandang jauh ke depan, karena kebebasan warga Negara tidak akan tercapai kecuali kebebasan berpolitik juga ada.
Kontribusi Voltair sebagai sosok penyebar pencerahan juga kita dapati dalam lapangan sejarah. Ia memandang sejarah bukan lagi suatu pertentangan antara kebaikan dan kejahatan, tetapi pengertian antara mengerti dan tidak mengerti. Sejarah suci dipisahkan dari sejarah profan. Injil sebagai sumber sejarah tidak lagi memiliki sumber-sumber profan yang lain. Tujuan sejarah ditentukan oleh akal manusia sendiri yaitu memperbaiki kondisi hidup manusia, dalam arti untuk mengurangi kebodohan mereka dan dengan demikian agar dapat hidup lebih baik dan lebih bahagia. Oleh Voltaire, sejarah diberi aspek profan. Bukan penyelenggaraan Ilahi, melainkan akallah yang memimpin manusia masa silam yang bukan ke masa kini yang terang, dan masa kini menuju ke masa depan yang lebih cemerlang.
Tidaklah berlebihan jika kita katakana, bahwa Voltaire merupakan tokoh pertama yang sangat piawai dalam penulisan sejarah baru. Dalam karyanya yang berjudulSejarah Charles XII yang diterbitkan pada tahun 1731, ia mencoba menerangkan karier raja Swedia yang aneh itu dengan meneliti watak pribadinya. Voltaire, melukiskan Charles sebagai Iskandar Agung dan separuh Don Quixote. Tetapi kehidupan Charles bernuansa sedih dan buku Voltaire ini mengorbankan kebenaran sejarah demi keasyikan. Buku lain yang diterbitkan adalah jaman Louis XIV seluruh uraian hebat mengenai jaman yang cemerlang; wawasannya mendalam demikian juga penilaian yang tajam.[2]
Gagasan pokok yang dikemukakannya selama hidup salah satunya adalah pendiriannya yang tergigih yakni mutlaknya jaminan kebebasan bicara dan kebebasan pers. Kalimat masyhur yang sering dihubungkan dengan Voltaire adalah yang berbunyi “Saya tidak setuju apa yang kau bilang, tetapi akan saya bela mati-matian hakmu untuk mengucapkan itu.” Meskipun mungkin saja Voltaire tidak pernah berucap sepersis itu, tetapi yang jelas kalimat itu benar-benar mencerminkan sikap Voltaire yang sebenarnya. Prinsip Voltaire yang lainnya ialah, kepercayaannya akan kebebasan beragama. Seluruh kariernya, dengan tak tergoyahkan dia menentang ketidaktoleransian agama serta penghukuman yang berkaitan dengan soal-soal agama. Meskipun Voltaire percaya adanya Tuhan, dia dengan tegas menentang sebagian besar dogma-dogma agama dan dengan mantapnya dia mengatakan bahwa organisasi berdasar keagaman pada dasarnya suatu penipuan.
Adalah sangat wajar bila Voltaire tak pernah percaya bahwa gelar-gelar keningratan Perancis dengan sendirinya menjamin kelebihan-kelebihan mutu, dan pada dasarnya tiap orang sebenarnya mafhum bahwa apa yang disebut “hak-hak suci Raja” itu sebenarnya omong kosong belaka. Dan kendati Voltaire sendiri jauh dari potongan seorang demokrat modern (dia condong menyetujui suatu bentuk kerajaan yang kuat tetapi mengalami pembaharuan-pembaharuan), dorongan pokok gagasannya jelas menentang setiap kekuasaan yang diperoleh berdasarkan garis keturunan. Karena itu tidaklah mengherankan jika sebagian terbesar pengikutnya berpihak pada demokrasi. Gagasan politik dan agamanya dengan demikian sejalan dengan faham pembaharuan Perancis, dan merupakan sumbangan penting sehingga meletusnya Revolusi Perancis tahun 1789.
referensi: Angung S Leo.Sejarah Intelektual.Yogyakarta.Penerbit Ombak.2013