Selama
jaman Pencerahan abad XVIII Voltaire termasuk filsuf yang termashur diantara
berbagai filsuf lain yang ada, ia menghasilkan banyak sekali karya meskipun
sebenarnya dia bukanlah seorang penulis yang original. Ia peka sekali terhadap
gagasan-gagasan yang tersebar pada jamannya serta pandai mengungkapkannya guna
mencapai tujuannya. Banyak sekali pengetahuan yang dipelajari, antara lain
sastra, sejarah, ilmu hukum, politik, ilmu pengetahuan alam, kesenian dan
filsafat, sehingga pengetahuannya luas sekali. Barangkali karena pengetahuannya
yang terlalu banyak inilah yang menyebabkan tulisan-tulisan yang dihasilkannya
tidak begitu mendalam. Sebagian karyanya antara lain memuat tentang kesusasteraan
dan syair-syair. Melalui berbagai tulisannya, utamanya kepandaiannya dalam
bersastra, ia mengkritik kehidupan para penguasa Perancis abad XVIII.
Menurut
Voltaire Agama Alamiah yang memenuhi tuntutan akal ialah ketika orang mengasihi
Allah dan berbuat adil serta berniat baik terhadap sesamanya sebagaimana
terhadap saudaranya sendiri. Tuntutan-tuntutan kesusilaan yang mengenai
keadilan dan kebijakan tidak tergantung pada pandangan-pandangan metafisis atau
teologis. Hukum kesusilaan bukanlah suatu keseluruhan peraturan-peraturan yang
dibawa orang sejak lahir melainkan suatu keseluruhan peraturan yang bersifat
abadi dan tidak berubah disegala jaman dan bertempat di mana saja. Isi hukum
kesusilaan adalah:”Hidup seperti yang kamu inginkan telah kamu lakukan pada
saat kamu mati dan berbuatlah terhadap sesamamu seperti yang kamu inginkan ia
berbuat terhadapmu.”
Agam
mencakup kepastian tentang adanya Allah. Bahwa Allah ada, hal itu dapat dibela
terhadap Ateisme dengan alasan-alasan yang sekali dan semata-mata bersifat
alamiah. Penyusunan alam semesta dan peraturan-peraturan umum dari
kejadian-kejadian alamiah mengajarkan kepada kita adanya pekerja yang
tertinggi, yang menciptakan segalanya, yaitu Allah. Akan tetapi kita tidak tahu
apa-apa tentang hakekat dan sifat-sifat Allah ini. Arti kepercayaan kepada
Allah ialah untuk menjadikan manusia merasa terikat kepada Allah oleh suatu
kewajiban untuk menyembah dan mengasihiNya serta mengharapkan balasan yang adil
dariNya mengenai kebaikan dan kejahatan, sekalipun kewajiban itu baru
diketahuinya secara samara-samar.[1]
Sebagai
tokoh penyebar pencerahan, ia mengkritik keberadaan dan kebenaran tahyul. Orang
yang percaya akan tahyul telah timbul dalam paganisme, tahyul ini kemudian
diambil oleh agama Yahudi dan menjangkiti Gereja Kristen sejak Jaman Klasik.
Semua Bapak Gereja, tanpa terkecuali, percaya akan kekuatan ilmu sihir. Gereja
sendiri selalu mengutuk ilmu sihir,namun demikian Gereja tetap percaya akan hal
itu. Gereja tidak mengusir tukang ilmu sihir sebagai orang-orang gila yang
sesat jalan, melainkan sebagai orang-orang yang dalam kenyataannya mengadakan
hubungandengan setan.
Dewasa
ini sebagian masyarakat Eropa masih ada yang mempercayai terhadap keberadaan
ilmu sihir. Voltaire, sebagai tokoh yang beraliran Protes-tan, menganggap
patung suci, pengampunan, samadi, doa-doa bagi orang yang meninggal, air suci
dan semua upacara dari Gereja Roma sebagai kelemahan jiwa yang percaya akan
tahyul. Menurut Voltaire, tahyul adalah mengandung unsur-unsur yang menganggap
pekerjaan yang sia-sia sebagai pekerjaan-pekerjaan yang penting-penting.
Masalah tahyul sampai dewasa ini masih dalam perdebatan. Kita sangat sulit
untuk memberikan definisi atau batas-batas pengertian tahyul. Berbagai pemuka
agama, seperti Uskup dari Canterbury dan Uskup dari Paris percaya akan tahyul.
Oleh karenanya, para jemaat Kristen tidak seorang pun yang sepaham akan apa
yang dimaksudkan dengan pengertian tahyul.
Voltaire
melakukan propaganda modernnya terhadap faham humanitas, toleransi terhadap
orang yang berbeda agama atau keyakinan, dengan melalui tulisan sasteranya. Ia
menyindir mengenai purbasangka dan kebodohan. Dipergunakannya sandiwara,
bersajak, epik, roman lucu misalnya roman Condide digunakan pula uraian dan
surat selebaran. Tetapi, dalam perjuangannya salah satu alatnya yang terpenting
adalah sejarah. Bukan hal yang baru lagi, bahwa orang menggunakan sejarah untuk
menunjukkan atau melukiskan, bahwa faham seseorang dalam lapangan politik,
sosial atau dalam lapangan moral. Kritik Voltaire terhadap pemerintahan
Perancis abad XVIII, dimasa pemerintahan Louis ke XIV, mengenai pemburuan Agama
Kristen dianggap menelikung terhadap kemerdekaan berbicara yang pernah ada.
Akan tetapi ia melepaskan usaha-usaha yang besar itu dengan dalih pada
pemerintahan yang popular, satu kebijaksanaan yang tidak memandang jauh ke
depan, karena kebebasan warga Negara tidak akan tercapai kecuali kebebasan
berpolitik juga ada.
Kontribusi
Voltair sebagai sosok penyebar pencerahan juga kita dapati dalam lapangan
sejarah. Ia memandang sejarah bukan lagi suatu pertentangan antara kebaikan dan
kejahatan, tetapi pengertian antara mengerti dan tidak mengerti. Sejarah suci
dipisahkan dari sejarah profan. Injil sebagai sumber sejarah tidak lagi
memiliki sumber-sumber profan yang lain. Tujuan sejarah ditentukan oleh akal
manusia sendiri yaitu memperbaiki kondisi hidup manusia, dalam arti untuk
mengurangi kebodohan mereka dan dengan demikian agar dapat hidup lebih baik dan
lebih bahagia. Oleh Voltaire, sejarah diberi aspek profan. Bukan penyelenggaraan
Ilahi, melainkan akallah yang memimpin manusia masa silam yang bukan ke masa
kini yang terang, dan masa kini menuju ke masa depan yang lebih cemerlang.
Tidaklah
berlebihan jika kita katakana, bahwa Voltaire merupakan tokoh pertama yang sangat
piawai dalam penulisan sejarah baru. Dalam karyanya yang berjudulSejarah
Charles XII yang diterbitkan pada tahun 1731, ia mencoba menerangkan karier
raja Swedia yang aneh itu dengan meneliti watak pribadinya. Voltaire,
melukiskan Charles sebagai Iskandar Agung dan separuh Don Quixote. Tetapi
kehidupan Charles bernuansa sedih dan buku Voltaire ini mengorbankan kebenaran
sejarah demi keasyikan. Buku lain yang diterbitkan adalah jaman Louis XIV
seluruh uraian hebat mengenai jaman yang cemerlang; wawasannya mendalam
demikian juga penilaian yang tajam.[2]
Gagasan
pokok yang dikemukakannya selama hidup salah satunya adalah pendiriannya yang
tergigih yakni mutlaknya jaminan kebebasan bicara dan kebebasan pers. Kalimat
masyhur yang sering dihubungkan dengan Voltaire adalah yang berbunyi “Saya
tidak setuju apa yang kau bilang, tetapi akan saya bela mati-matian hakmu untuk
mengucapkan itu.” Meskipun mungkin saja Voltaire tidak pernah berucap sepersis
itu, tetapi yang jelas kalimat itu benar-benar mencerminkan sikap Voltaire yang
sebenarnya. Prinsip Voltaire yang lainnya ialah, kepercayaannya akan kebebasan
beragama. Seluruh kariernya, dengan tak tergoyahkan dia menentang
ketidaktoleransian agama serta penghukuman yang berkaitan dengan soal-soal
agama. Meskipun Voltaire percaya adanya Tuhan, dia dengan tegas menentang
sebagian besar dogma-dogma agama dan dengan mantapnya dia mengatakan bahwa
organisasi berdasar keagaman pada dasarnya suatu penipuan.
Adalah
sangat wajar bila Voltaire tak pernah percaya bahwa gelar-gelar keningratan
Perancis dengan sendirinya menjamin kelebihan-kelebihan mutu, dan pada dasarnya
tiap orang sebenarnya mafhum bahwa apa yang disebut “hak-hak suci Raja” itu
sebenarnya omong kosong belaka. Dan kendati Voltaire sendiri jauh dari potongan
seorang demokrat modern (dia condong menyetujui suatu bentuk kerajaan yang kuat
tetapi mengalami pembaharuan-pembaharuan), dorongan pokok gagasannya jelas
menentang setiap kekuasaan yang diperoleh berdasarkan garis keturunan. Karena
itu tidaklah mengherankan jika sebagian terbesar pengikutnya berpihak pada
demokrasi. Gagasan politik dan agamanya dengan demikian sejalan dengan faham
pembaharuan Perancis, dan merupakan sumbangan penting sehingga meletusnya
Revolusi Perancis tahun 1789.
referensi: Angung S Leo.Sejarah Intelektual.Yogyakarta.Penerbit Ombak.2013
oke,,good job,,,trmksh,,utk tugas berikutnya,tambah referensi ya,
BalasHapus